BATIK WUJUD KOMPLEKSITAS SOSIAL
Oleh YUN HARIADI

 Sering sebuah karya seni secara tidak sengaja menggunakan konsep matematika canggih yang baru dipahami beberapa abad kemudian. Seni dan matematika berkembang dengan berpijak pada pemikiran dengan segala keterbatasan dan kreativitasnya.    
    Konsep matematika harus logis, sementara seni tidak harus 
demikian. Seni bisa berkembang demikian liar menembus batas logika 
saat itu. Maka, tidak aneh jika matematika tertatih-tatih dan butuh 
waktu cukup lama untuk memahami seni dalam konsep logikanya. Misalnya, 
pada seni dekoratif Islam abad pertengahan yang ternyata menggunakan 
geometri canggih (decagonal quasicrystal geometry) yang baru bisa 
dipahami oleh matematikawan di era 70-an, pada jurnal ilmiah, atau 
pada karya-karya Escher yang sampai saat ini susah untuk dipahami.
    Bagaimana dengan batik? Adakah konsep matematika canggih pada 
batik? Hasil penelitian yang dilakukan penulis dan rekan-rekan yang 
diterbitkan dalam proceeding Generative X di Milan Italia (Pixel 
People Project, "Batik Fractal: Traditional Art to Modern Complexity") 
dan Journal of Social Complexity 2008 Bandung Fe Institute menunjukkan 
kehadiran fraktal dalam batik.
Fraktal dan teori khaos
    Istilah fraktal kali pertama dipopulerkan oleh Benoît Mandelbrot-
kemudian disebut sebagai Bapak Fraktal-pada pertengahan 70-an. Fraktal 
merupakan konsep matematika yang membahas kesamaan pola pada semua 
skala. Secara sederhana kehadiran fraktal ditandai dengan adanya 
perulangan pola atau kesamaan diri (self-similarity) pada skala yang 
berbeda-beda atas suatu obyek.
    Contoh sederhana adalah segitiga Sierpinski. Pada segitiga ini, 
setiap bagian segitiga di dalamnya memiliki kesamaan pola dengan 
segitiga lainnya. Pohon cemara merupakan contoh sederhana hadirnya 
fraktal di alam. Segitiga Sierpinski dan pohon cemara merupakan contoh 
sempurna hadirnya fraktal. Kesamaan pola dan skala yang berbeda-beda 
merupakan unsur penting dalam fraktal.
    Perkembangan teknologi komputer telah memberikan sumbangan sangat 
besar pada kelahiran fraktal. Perhitungan kesamaan pola pada skala 
yang berbeda-beda makin tepat. Fraktal atau kesamaan pola pada skala 
yang berbeda-beda menjadi begitu penting karena fraktal merupakan 
tanda keteraturan dalam ketidakteraturan (khaos) dalam suatu sistem 
yang bersifat khaos.
    Suatu keadaan bersifat khaos jika sangat sensitif pada kondisi 
awal. Pemeo yang begitu terkenal pada teori khaos misalnya "Kepakan 
sayap kupu di Jakarta menyebabkan badai tornado di Texas".
    Sebelum teori khaos ditemukan, kondisi khaos disamakan dengan 
kondisi acak yang tanpa aturan, tanpa struktur, dan mustahil dibuat 
model matematikanya. Namun setelah penemuan teori khaos kita paham 
bahwa dalam sistem yang kompleks, tak-linier, dan sangat sensitif pada 
kondisi awal ternyata terdapat tanda keteraturan dalam 
ketidakteraturan, yaitu fraktal.
Dimensi fraktal
    Geometri fraktal berbeda dengan geometri Euclidean yang kita kenal 
selama ini. Geometri Euclidean hanya mampu mengelompokkan benda-benda 
ke dalam dimensi bilangan bulat. Misalnya, kubus merupakan benda 
berdimensi 3 (panjang-lebar-tinggi), gambar bujur sangkar berdimensi 2 
(panjang-lebar), garis lurus berdimensi 1 (panjang). Geometri fraktal 
menerima obyek berdimensi pecahan, misalnya 1,5 atau 2,75.
    Menggunakan penggaris dimensi fraktal, maka tingkat fraktal suatu 
benda bisa dibandingkan. Makin bernilai pecahan dimensi fraktal suatu 
benda, maka makin tinggi pula tingkat fraktal benda tersebut.
    Hasil perhitungan dimensi fraktal pada batik dengan sampel 200 
motif menunjukkan bahwa batik memiliki dimensi fraktal 1,5. Sebagai 
pembanding, yaitu lukisan kubisme Picasso, 1889-1930, yang memiliki 
dimensi fraktal 3 (bilangan bulat). Hal ini menunjukkan batik memiliki 
tingkat fraktal yang tinggi.
    Sedangkan lukisan kubisme Picasso, sesuai kenyataan bahwa kubisme 
adalah aliran lukisan yang menyederhanakan obyek ke dalam bentuk 
silinder, kerucut, kubus, maupun bola-yaitu benda-benda berdimensi 3. 
Dimensi permukaan lukisan kubisme dan batik pada semua sudut, dari 0°-
360° derajat.
    Kubisme taat dengan dimensi 3, sedangkan batik taat dengan dimensi 
1,5. Ini menunjukkan motif batik tidak cukup digambarkan oleh benda 
berdimensi 1, namun berlebihan jika digambarkan oleh benda berdimensi 
2.
    Faktor yang berperan besar menghadirkan fraktal pada batik adalah 
teknik dekorasi yang berhubungan dengan makna simbolis pada batik, 
yaitu isen, yaitu mengisi motif besar dengan motif kecil tertentu. Ini 
sesuai-mirip dengan kesamaan-diri pada fraktal meski tidak sesempurna 
segitiga Sierpinski.
    Proses isen, menurut Haldani, ahli batik tradisional dari Institut 
Teknologi Bandung, merupakan upaya penyempurnaan dan memberi makna 
obyek keseluruhan. Isen dalam batik motif semu riris merupakan motif 
kecil dalam motif besar.
Kompleksitas sosial
    Batik muncul sebagai hasil interaksi antarmanusia 
denganlingkungannya. Manusia memahami alam lingkungan dan 
menerjemahkannya dengan melukis dengan teknik batik. Obyek batik 
merupakan benda-benda di alam-berdimensi 3 (pohon, hewan) yang 
sebagian besar memiliki makna simbolis tertentu.
    Dinamika masyarakat dan lingkungannya jelas berpengaruh pada 
batik. Kebudayaan- kebudayaan besar (Hindu, Islam, kolonial Belanda, 
Jepang, Kemerdekaan, Orba) berpengaruh pada corak, warna, dan motif 
pada batik, namun batik mampu mempertahankan dimensi fraktalnya pada 
sekitar 1,5. Ini menunjukkan adanya aturan da- sar dalam batik sendiri 
yang sedemikian sehingga dimensi fraktal batik tetap pada nilai 
sekitar 1,5.
    
    Interaksi antara manusia dan lingkungan dalam menghasilkan batik 
merupakan interaksi tak-linier, melibatkan banyak faktor yang saling 
berkaitan, seperti teknologi (canting, lilin, pewarna), budaya 
(simbolisme), kepercayaan (mistisme), ekonomi, dan geografi.
    Kehadiran fraktal dalam batik merupakan wujud adanya kompleksitas 
sosial dalam batik sehingga untuk memahami batik harus melihat faktor 
teknologi, budaya, kepercayaan, ekonomi, geografi secara bersama-sama. 
Kompleksitas sosial lainnya yang ditandai oleh kehadiran fraktal 
misalnya evolusi sebuah kota. Hasil penelitian Profesor Michael Batty, 
diterbitkan dalam jurnal Science, menunjukkan, kota merupakan sistem 
kompleks yang melibatkan faktor ekonomi, sosial, hingga perubahan 
iklim. Faktor-faktor tersebut berpengaruh pada ukuran, skala, dan 
bentuk sebuah kota sehingga juga membutuhkan geometri fraktal.
    
YUN HARIADI
Peneliti Kompleksitas Sosial Pixel People Project
***
Isen dalam batik motif semu riris merupakan motif kecil dalam motif 
besar. Hal ini mirip dengan kesamaan-diri pada fraktal. Kesamaan-diri 
ini meskipun jauh sempurna dibandingkan dengan segitiga Sierpinski dan 
pohon cemara, namun berkontribusi pada pembentukan pola fraktal. 
Kesamaan-diri tidak harus diukur berdasarkan kesamaan secara visual, 
namun bisa diukur pada sifat-sifat statistikanya.
***
Segitiga Sierpinski dan pohon cemara merupakan contoh sempurna 
hadirnya fraktal.
Kompas, 10 Maret 2008