25 Oktober 2008

Batik dan Matematika [Part 2]

BATIK WUJUD KOMPLEKSITAS SOSIAL
Oleh YUN HARIADI
Sering sebuah karya seni secara tidak sengaja menggunakan konsep matematika canggih yang baru dipahami beberapa abad kemudian. Seni dan matematika berkembang dengan berpijak pada pemikiran dengan segala keterbatasan dan kreativitasnya.

Konsep matematika harus logis, sementara seni tidak harus
demikian. Seni bisa berkembang demikian liar menembus batas logika
saat itu. Maka, tidak aneh jika matematika tertatih-tatih dan butuh
waktu cukup lama untuk memahami seni dalam konsep logikanya. Misalnya,
pada seni dekoratif Islam abad pertengahan yang ternyata menggunakan
geometri canggih (decagonal quasicrystal geometry) yang baru bisa
dipahami oleh matematikawan di era 70-an, pada jurnal ilmiah, atau
pada karya-karya Escher yang sampai saat ini susah untuk dipahami.
Bagaimana dengan batik? Adakah konsep matematika canggih pada
batik? Hasil penelitian yang dilakukan penulis dan rekan-rekan yang
diterbitkan dalam proceeding Generative X di Milan Italia (Pixel
People Project, "Batik Fractal: Traditional Art to Modern Complexity")
dan Journal of Social Complexity 2008 Bandung Fe Institute menunjukkan
kehadiran fraktal dalam batik.

Fraktal dan teori khaos
Istilah fraktal kali pertama dipopulerkan oleh BenoƮt Mandelbrot-
kemudian disebut sebagai Bapak Fraktal-pada pertengahan 70-an. Fraktal
merupakan konsep matematika yang membahas kesamaan pola pada semua
skala. Secara sederhana kehadiran fraktal ditandai dengan adanya
perulangan pola atau kesamaan diri (self-similarity) pada skala yang
berbeda-beda atas suatu obyek.
Contoh sederhana adalah segitiga Sierpinski. Pada segitiga ini,
setiap bagian segitiga di dalamnya memiliki kesamaan pola dengan
segitiga lainnya. Pohon cemara merupakan contoh sederhana hadirnya
fraktal di alam. Segitiga Sierpinski dan pohon cemara merupakan contoh
sempurna hadirnya fraktal. Kesamaan pola dan skala yang berbeda-beda
merupakan unsur penting dalam fraktal.

Perkembangan teknologi komputer telah memberikan sumbangan sangat
besar pada kelahiran fraktal. Perhitungan kesamaan pola pada skala
yang berbeda-beda makin tepat. Fraktal atau kesamaan pola pada skala
yang berbeda-beda menjadi begitu penting karena fraktal merupakan
tanda keteraturan dalam ketidakteraturan (khaos) dalam suatu sistem
yang bersifat khaos.
Suatu keadaan bersifat khaos jika sangat sensitif pada kondisi
awal. Pemeo yang begitu terkenal pada teori khaos misalnya "Kepakan
sayap kupu di Jakarta menyebabkan badai tornado di Texas".
Sebelum teori khaos ditemukan, kondisi khaos disamakan dengan
kondisi acak yang tanpa aturan, tanpa struktur, dan mustahil dibuat
model matematikanya. Namun setelah penemuan teori khaos kita paham
bahwa dalam sistem yang kompleks, tak-linier, dan sangat sensitif pada
kondisi awal ternyata terdapat tanda keteraturan dalam
ketidakteraturan, yaitu fraktal.

Dimensi fraktal
Geometri fraktal berbeda dengan geometri Euclidean yang kita kenal
selama ini. Geometri Euclidean hanya mampu mengelompokkan benda-benda
ke dalam dimensi bilangan bulat. Misalnya, kubus merupakan benda
berdimensi 3 (panjang-lebar-tinggi), gambar bujur sangkar berdimensi 2
(panjang-lebar), garis lurus berdimensi 1 (panjang). Geometri fraktal
menerima obyek berdimensi pecahan, misalnya 1,5 atau 2,75.
Menggunakan penggaris dimensi fraktal, maka tingkat fraktal suatu
benda bisa dibandingkan. Makin bernilai pecahan dimensi fraktal suatu
benda, maka makin tinggi pula tingkat fraktal benda tersebut.
Hasil perhitungan dimensi fraktal pada batik dengan sampel 200
motif menunjukkan bahwa batik memiliki dimensi fraktal 1,5. Sebagai
pembanding, yaitu lukisan kubisme Picasso, 1889-1930, yang memiliki
dimensi fraktal 3 (bilangan bulat). Hal ini menunjukkan batik memiliki
tingkat fraktal yang tinggi.
Sedangkan lukisan kubisme Picasso, sesuai kenyataan bahwa kubisme
adalah aliran lukisan yang menyederhanakan obyek ke dalam bentuk
silinder, kerucut, kubus, maupun bola-yaitu benda-benda berdimensi 3.
Dimensi permukaan lukisan kubisme dan batik pada semua sudut, dari 0°-
360° derajat.
Kubisme taat dengan dimensi 3, sedangkan batik taat dengan dimensi
1,5. Ini menunjukkan motif batik tidak cukup digambarkan oleh benda
berdimensi 1, namun berlebihan jika digambarkan oleh benda berdimensi
2.
Faktor yang berperan besar menghadirkan fraktal pada batik adalah
teknik dekorasi yang berhubungan dengan makna simbolis pada batik,
yaitu isen, yaitu mengisi motif besar dengan motif kecil tertentu. Ini
sesuai-mirip dengan kesamaan-diri pada fraktal meski tidak sesempurna
segitiga Sierpinski.
Proses isen, menurut Haldani, ahli batik tradisional dari Institut
Teknologi Bandung, merupakan upaya penyempurnaan dan memberi makna
obyek keseluruhan. Isen dalam batik motif semu riris merupakan motif
kecil dalam motif besar.

Kompleksitas sosial
Batik muncul sebagai hasil interaksi antarmanusia
denganlingkungannya. Manusia memahami alam lingkungan dan
menerjemahkannya dengan melukis dengan teknik batik. Obyek batik
merupakan benda-benda di alam-berdimensi 3 (pohon, hewan) yang
sebagian besar memiliki makna simbolis tertentu.
Dinamika masyarakat dan lingkungannya jelas berpengaruh pada
batik. Kebudayaan- kebudayaan besar (Hindu, Islam, kolonial Belanda,
Jepang, Kemerdekaan, Orba) berpengaruh pada corak, warna, dan motif
pada batik, namun batik mampu mempertahankan dimensi fraktalnya pada
sekitar 1,5. Ini menunjukkan adanya aturan da- sar dalam batik sendiri
yang sedemikian sehingga dimensi fraktal batik tetap pada nilai
sekitar 1,5.

Interaksi antara manusia dan lingkungan dalam menghasilkan batik
merupakan interaksi tak-linier, melibatkan banyak faktor yang saling
berkaitan, seperti teknologi (canting, lilin, pewarna), budaya
(simbolisme), kepercayaan (mistisme), ekonomi, dan geografi.
Kehadiran fraktal dalam batik merupakan wujud adanya kompleksitas
sosial dalam batik sehingga untuk memahami batik harus melihat faktor
teknologi, budaya, kepercayaan, ekonomi, geografi secara bersama-sama.
Kompleksitas sosial lainnya yang ditandai oleh kehadiran fraktal
misalnya evolusi sebuah kota. Hasil penelitian Profesor Michael Batty,
diterbitkan dalam jurnal Science, menunjukkan, kota merupakan sistem
kompleks yang melibatkan faktor ekonomi, sosial, hingga perubahan
iklim. Faktor-faktor tersebut berpengaruh pada ukuran, skala, dan
bentuk sebuah kota sehingga juga membutuhkan geometri fraktal.

YUN HARIADI
Peneliti Kompleksitas Sosial Pixel People Project

***
Isen dalam batik motif semu riris merupakan motif kecil dalam motif
besar. Hal ini mirip dengan kesamaan-diri pada fraktal. Kesamaan-diri
ini meskipun jauh sempurna dibandingkan dengan segitiga Sierpinski dan
pohon cemara, namun berkontribusi pada pembentukan pola fraktal.
Kesamaan-diri tidak harus diukur berdasarkan kesamaan secara visual,
namun bisa diukur pada sifat-sifat statistikanya.

***
Segitiga Sierpinski dan pohon cemara merupakan contoh sempurna
hadirnya fraktal.

Kompas, 10 Maret 2008

Tidak ada komentar: