23 Oktober 2008

Matematika Di Sekolah Terbatas

Matematika di Sekolah Terbatas
Keberadaan Kursus Sangat Membantu Siswa


Pembelajaran Matematika di sekolah sangat terbatas sehingga kebutuhan anak terhadap Matematika belum seluruhnya terpenuhi. Keberadaan kursus-kursus Matematika seperti Kumon, Sakamoto, Jarimatika, dan yang lainnya menjadi sarana yang membantu anak belajar.

Seperti diwartakan sebelumnya, semakin banyak berdiri lembaga kursus yang sebagian merupakan waralaba dari negara lain. Lembaga kursus tersebut menawarkan berbagai metode pembelajaran Matematika alternatif, seperti Sakamoto, Kumon, Jarimatika, dan lain-lain.

Ketua Asosiasi Guru Matematika Indonesia, Firman, mengatakan, pola pembelajaran Matematika di sekolah diakui masih kurang menyenangkan bagi anak. Hal itu dikarenakan pembelajaran Matematika di sekolah seolah- olah direduksi hanya persoalan hitung-menghitung.

”Banyak anak yang mengartikan belajar Matematika itu menghafal rumus dan menghitungnya, kemudian selesai. Aktivitas yang bersifat mekanistik tersebut membosankan anak. Padahal, belajar Matematika ialah bagaimana anak dengan informasi yang dia bangun mampu menyelesaikan permasalahan,” ujarnya.

Prinsipnya adalah pembangunan pola pikir anak dalam memecahkan masalah.

Hanya saja, dengan adanya sistem evaluasi yang dibangun pemerintah sekarang, mulai dari ulangan umun, ujian nasional (UN), dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri semuanya kemudian mengarah ke pola mekanistis. Guru juga sibuk mempersiapkan murid agar siap menghadapi berbagai ujian tersebut dengan drilling berlatih menjawab soal dengan benar dan cepat.


Abdul Hakim Gani, guru Matematika SMAN 17 Jakarta dan pengajar di sejumlah sekolah swasta, mengatakan hal senada.

Belajar kreatif

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebetulnya memberikan kesempatan kepada pembelajaran kreatif. ”Kesulitannya ialah adanya tuntutan berbagai ujian, sehingga larinya malah ke arah keterampilan. Tuntutan kurikulum malah sulit dipenuhi,” ujarnya.

KTSP yang disusun oleh guru sendiri sebetulnya menawarkan konsep agar anak berkembang menurut tingkat kemampuannya sendiri sehingga dimungkinkan percepatan atau remedial. Terutama remedial yang sangat penting dalam pembelajaran Matematika.

Dia berpendapat, jika anak belajar pada level pengetahuannya, anak tidak akan terlalu takut terhadap Matematika. ”Kalau anak belajar tidak sesuai dengan levelnya, anak ketakutan dan terjadi penumpukan materi yang tidak dikuasai,” katanya.

Sumarsono, guru SMPN 89 Jakarta Barat, berpendapat, belajar Matematika seharusnya diawali dengan pemberian motivasi. Guru, terutama, harus dapat menggambarkan kepada anak didiknya manfaat belajar Matematika dalam kehidupan.

”Saya selalu menekankan kepada para murid, sadar atau tidak, mereka membutuhkan pelajaran tersebut,” ujarnya. Belajar Matematika juga dimulai dengan hal yang mudah dan beranjak ke materi lebih sulit.

Keberadaan kursus

Firman berpendapat, masih perlu diteliti lagi apakah keikutsertaan anak di lembaga kursus yang menyajikan metode Matematika alternatif tersebut berpengaruh kepada prestasi di bidang Matematika.

”Tetapi, berdasarkan pengalaman saya mengajar selama ini di sekolah menengah atas, biasanya anak yang kursus mempunyai keterampilan berhitung sangat baik. Mereka lebih mudah melihat pola-pola dalam belajar Matematika,” ujarnya.

Kelebihan lain dari kemampuan menghitung cepat itu adalah anak cenderung bermotivasi dan bersemangat belajar Matematika. ”Itu karena mereka mampu menyelesaikan soal sulit dalam waktu cepat sehingga muncul rasa percaya diri,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Abdul Gani. ”Biasanya, terlihat perbedaan pada kemampuan awalnya atau entry behavior. Anak yang kursus Matematika sangat menguasai materi aritmatika,” ujar Abdul Gani.

Sumarsono berpendapat, metode belajar Matematika berbeda di sekolah pada umumnya dan di tempat kursus. Di tempat kursus, rasio tutor dan peserta lebih sedikit.

”Relasi serta komunikasi antara tutor dan peserta kursus lebih informal. Lingkungan dan metode belajar juga lebih bervariasi,” ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Kamis, 23 Oktober 2008 | 01:04 WIB

Tidak ada komentar: