14 November 2013

Napak Tilas Jejak Filsafat 1 : Filsafat Kuno




Mencintai kebenaran merupakan awal proses manusia menggunakan daya pikirnya, sehingga mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi.  Orang Yunani pada awalnya sangat percaya pada dongeng dan takhyul, namun lama kelamaan, terutama setelah mampu membedakan yang riil dan yang ilusi, mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Pada titik inilah, periode filsafat Yunani sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada periode ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris.
Perubahan ini tampaknya sederhana, tapi memiliki implikasi yang luar biasa. Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif dalam menghadapi fenomena alam, menjadikannya obyek penelitian dan pengkajian. Menggugah rasa keingintahuan yang semakin mendalam tentang alam, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti dari manakah asal usul alam ini? Bagaimana terjadinya? Pertanyaan seperti inilah yang selalu diajukan oleh para filsuf Yunani, sehingga mereka disebut filsuf alam, sebab perhatiannya yang begitu besar terhadap alam.
Filsuf alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM). Ia digelari Bapak Filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan. “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” merupakan pertanyaan yang sangat mendasar, terlepas apapun jawabannya. Dan yang lebih penting, pertanyaan tersebut dijawabnya dengan pendekatan rasional bukan dengan pendekatan mitos. Menurut Thales asal alam adalah air, karena air merupakan unsur penting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berubah menjadi benda gas (uap), air dapat berubah menjadi benda padat (es) dan bumi ini berada di atas air.
Filsuf alam selanjutnya adalah Anaximander (610-540 SM) yang mengatakan bahwa segala hal berasal dari substansi asalai, namun substansi itu bukanlah air seperti diyakini Thales, atau substansi manapun yang kita ketahui. Substansi itu tidak terbatas, abadi dan tak mengenal usia, dan “ia melingkupi seluruh dunia-dunia” – sebab Anaximander menganggap bahwa dunia kita ini hanyalah salah satu dari banyak dunia. Substansi asali itu diubah menjadi pelbagai substansi yang kita kenal, dan substansi-substansi itu saling ditransformasikan menjadi substansi yang satu atau yang lain. Anaximander memiliki keingintahuan ilmiah yang besar. Konon ia adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti silinder. Anaximander dikenal orisinal, berwatak ilmiah dan rasionalistik.
Tokoh lain adalah Anaximenes yang muncul setelah Anaximander dan sudah dewasa sebelum tahun 494 SM. Menurutnya substansi yang paling dasar adalah udara. Jiwa adalah udara. Api adalah udara yang encer, jika dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi menjadi tanah, dan akhirnya menjadi batu. Anaximenes berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar.
Ketiga tokoh di atas, yaitu Thales, Anaximander, dan Anaximenes sering dikenal sebagai tritunggal Milesian. Mazhab Milesian penting bukan karena apa yang dicapainya, namun karena apa yang diupayakannya. Kemunculannya didorong oleh kontak anata pemikiran Yunani dengan Babilonia dan Mesir. Mengingat Miletus adalah kota niaga, tempat bertemunya orang dari berbagai penjuru. Miletus merupakan kota niaga yang makmur, dimana prasangka dan takhayul primitive diperlunak karena pergaulannya dengan berbagai bangsa. Pemikiran spekulatif Thales, Anaximander, dan Anaximenes bisa dianggap sebagai hipotesis-hipotesis ilmiah, dan hamper tak pernah mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan hasrat-hasrat antropomorfis dan ide-ide moral. Persoalan-persoalan yang mereka kemukakan adalah persoalan yang berharga, dan semangat mereka bisa memacu penyelidikan selanjutnya.
Pythagoras (580-500 SM) merupakan seorang tokoh terpenting yang pernah hidup, baik ketika ia bijak maupun tak bijak, demikian Bertrand Russel mengungkapkan. Matematika dalam pengertian sebagai argumen deduktif demonstratif bermula dari dia dan oleh dialah matematika dikaitkan dengan suatu bentuk mistisisme yang ganjil. Pengaruh matematika terhadap filsafat, yang sebagian adalah karena dia, sejak saat itu menjadi cukup mendalam sekaligus kurang menguntungkan. Pythagoras mengatakan bahwa segala sesuatu adalah bilangan-bilangan. Baginya tidak ada satupun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantitas). Karena itu dia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Pythagoras menganggap bilangan-bilangan sebagai bentuk-bentuk. Kita pun masih memakai istilah bilangan bujur sangkar (bilangan berpangkat dua), bilangan kubus (bilangan berpangkat tiga) yang tak lain adalah istilah-istilah dari Pythagoras. Penemuan terpenting dari Pythagoras adalah proposisi tentang segitiga siku-siku, yakni bahwa kuadrat sisi-sisinya yang membentuk sudut siku-siku sama dengan sama dengan hasil kuadrat dari sisi yang lain, yakni sisi miringnya.
Berkait dengan keberadaan alam semesta, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama muncul dari Heraklitos (540-480 SM) yang melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Jika kita ingin memahami kehidupan kosmos, kita harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Heraklitos menyimpulkan bahwa tidak ada suatupun yang benar-benar ada, semuanya menjadi. Ungkapannya yang terkenal dalam menggambarkan perubahan ini adalah panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal matap).
Berbeda dengan Heraklitos, Parmenides (515-440 SM) memandang bahwa alam semesta itu selalu dalam keadaan tetap, gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Parmenides menegaskan bahwa yang ada itu ada. Yang tidak ada memang tidak ada, tidak bisa dipikirkan dan menjadi obyek pembicaraan. Yang ada akan tetap ada dan tidak mungkin menjadi tidak ada. Demikian juga yang tidak ada tidak mungkin berubah menjadi ada. Oleh karenanya, yang ada itu ada dan itulah kebenaran.
Benar tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Dengan kata lain, ukuran kebenaran adalah akal manusia. Parmenides menentang pendapat Heriklitos yang menyatakan bahwa alam itu selalu bergerak. Menurutnya gerak alam yang terlihat itu semu, sebab sejatinya alam itu diam - tidak bergerak karena alam itu satu, yaitu ada dan yang ada itu satu. Akibat dari pandangan ini kemudian muncullah panteisme dalam memandang realitas.
Para filsuf alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berkembang, sehingga kajian tentang alam tidak lagi menjadi focus utama dan mulai bergeser pada penyelidikan tentang manusia. Era filsuf alam pun berakhir digantikan masa transisi yang ditandai dengan lahirnya kaum “Sofis”. Kaum Sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Ini merupakan cikal bakal humanisme. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM) yang menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subyektif dan relatif. Konsekuensinya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika pun tidak dianggap mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh lain dari kaum sofis yang lebih ekstrim dibanding Protagoras adalah Gorgias (483-375). Menurutnya, realitas itu sebenarnya tidak ada. Pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila sesuatu itu ada, ia tidak akan dapat diketahui. Ini dikarenakan penginderaan itu sumber ilusi yang tidak dapat dipercaya. Pun akal tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta, karena akal kita telah diperdaya dilemma subyektifitas. Kalaupun relaitas itu dapat kita ketahui, ia tidak dapat diberitahukan kepada orang lain. Sikap skeptic Gorgias ini dianggap oleh sebagian filsuf sebagai pandangan nihilisme, bahwa kebenaran itu tidak ada.
Namun relativisme kaum sofis ini ditentang oleh Socrates dan pengikutnya, seperti Plato dan Aristoteles. Menurut para filsuf ini, ada kebenaran obyektif yang bergantung pada manusia. Socrates mencoba membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan metode dialognya. Metode ini bersifat praktis dan dilakukan melalui percakapan-percakapan yang berperan penting dalam menggali kebenaran yang obyektif. Dari sinilah kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi Socrates, pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Plato (429-347 SM) yang merupakan murid Socrates mencoba memadukan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Plato mengungkapkan bahwa esensi itu mempunyai realitas dan realitasnya ada dalam idea. Kebenaran umum itu ada dan tidak dibuat-buat, bahkan sudah ada di alam idea. Kebenaran umum ini merupakan rujukan bagi alam empiris. Plato berhasil mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Untuk mendamaikan kedua pandangan itu, Plato mengungkapkan bahwa pandangan Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja, sedangkan pandangan Parmenides juga benar, namun hanya berlaku untuk idea-idea yang bersifat abadi dan idea inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322). Murid Plato ini berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Logika Aristoteles ini disebut juga sebagai logika deduktif, yang mengukur valid tidaknya suatu pemikiran.
Aristoteleslah yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Teoritis mencakup logika, metafisika dan fisika, sedangkan yang praktis mencakup etika, ekonomi dan politik. Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman juga bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap sebagai bapak ilmu karena ia dianggap mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Filsafat Yunani boleh dikatakan berakhir setelah era Aristoteles. Namun demikian sifat rasional yang menjadi cirinya masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya sampai sebelum filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad pertengahan.

Sriyanta
NIM : 13709251034
Mahasiswa PPs UNY Pendidikan Matematika Kelas B


Sumber Tulisan :
Rekaman perkuliahan Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers
Russel, Bertrand. 2005. Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (terjemahan). Yogkarta : Pustaka Pelajar.

16 Oktober 2013

Mengejar Ikhtiar - Mendaraskan Syukur




Berusahalah sebaik-baiknya seolah-olah keberhasilan melulu tergantung kerja kerasmu.  Setelahnya serahkan semuanya kepada Tuhan dan biarkan Ia sendiri mengerjakan yang terbaik bagimu.



Acapkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada cobaan atau persoalan yang menuntut kita untuk menyikapinya dengan sebaik-baiknya. Kadang kala persoalan itu dapat kita selesaikan dengan baik, namun tak jarang persoalan itu menelikung dan membelenggu kita, membuat kita seolah tidak berdaya. Dalam situasi demikianlah terminologi pasrah sering muncul. Apakah itu sesungguhnya pasrah? Apakah pasrah berarti menyerah, putus asa – berhenti berjuang? Bagaimanakah bersikap pasrah yang sesungguhnya?
            Prof. Dr. Marsigit, M.A mengajak kita memahami pasrah dari dimensi spiritual, yakni dengan mengatur keseimbangan antara pasrah dan ikhtiar. Pasrah dalam kaca mata fatalisme adalah pasrah dalam arti patah semangat – putus asa. Tentu bukan pasrah yang demikian yang kita maksudkan. Pasrah yang demikian tidak menyiratkan adanya harapan. Padahal mestinya dalam sikap kepasrahan kita masih menaruh harapan akan kehidupan yang lebih baik. Pasrah yang menyiratkan harapan di dalamnya hanya mungkin jika ada ikhtiar, yaitu usaha semaksimal mungkin dan setelah berbagai upaya itu dilakukan baru berpasrah – berserah diri pada penyelenggaraan Yang Ilahi.
Berikhtiar semaksimal mungkin tapi dalam keadaan pasrah, demikian diungkapkan Prof Dr. Marsigit M.A. Hal ini menyiratkan bahwa pasrah itu tidak pasif tapi pasrah itu aktif. Pasrah itu bukan tidak berusaha. Pasrah yang sesungguhnya adalah berikhtiar dengan segenap jiwa raga. Perubahan ke arah yang lebih baik, demi kehidupan yang lebih baik, tak akan pernah terjadi tanpa ikhtiar. Ikhtiar selalu berkait dengan hal yang belum terjadi dan agar hal yang akan terjadi baik adanya maka kita bisa mengusahakannya dengan berikhtiar semaksimal mungkin. Dalam konteks ini, maka takdir dipahami hanya sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan dalam hal ini tentu saja takdir tidak bisa diubah. Sebab siapakah yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi? Oleh karena itu kehidupan kita sesungguhnya tidak ditentukan oleh takdir, tapi ditentukan oleh seberapa besar ikhtiar yang sudah kita lakukan untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Pun ada dimensi spiritual dalam sikap pasrah. Tidak melulu mengandalkan kekuatan diri sendiri, namun juga melibatkan campur tangan Tuhan. Pasrah pada dasarnya juga penyerahan diri total pada penyelenggaraan Ilahi. “Bukan kehendakku, tapi kehendakMulah yang terjadi.” Bahwa benar kita berusaha semaksimal mungkin seolah-olah keberhasilan hanya melulu ditentukan oleh kerja keras kita sendiri. Tapi setelah itu, kita menyerahkan dan membiarkan Tuhan sendiri yang berkarya dan menyempurnakan seturut kehendakNya. Inilah sikap pasrah yang sesungguhnya.
            Sikap pasrah yang demikian juga mencerminkan pengakuan bahwa kita sebagai manusia tidaklah sempurna. Kita membutuhkan uluran tangan dan belas kasih Tuhan dalam kehidupan kita. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A. Pasrah adalah jika setiap saat dikarenakan ketidaksempurnaan manusia itulah sehingga  kita bisa menyadari siapa diri manusia itu. Dari sini tampak bahwa dalam pasrah ada ruang kesadaran diri yang dibangun oleh manusia, mengakui dibalik berbagai kemampuan dan kelebihan, manusia juga memiliki kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan.
            Dan sesungguhnya kehidupan mempunyai arti justru karena manusia memiliki banyak keterbatasan. Justru karena manusia tidak sempurna itulah yang membuat kehidupan semakin bermakna. Bayangkan jika manusia itu sempurna. Ketika manusia sempurna maka ia akan mengetahui tentang semua hal. Jika demikian maka bukankah tidak ada lagi ilmu pengetahuan? Jika manusia sempurna, maka aku bisa menjadi Anda dan Anda bisa menjadi saya. Demikianlah jika manusia sempurna tidak akan ada kehidupan di dunia ini. Ketidaksempurnaan manusia itulah yang membuat kehidupan menjadi berarti. Oleh karenanya, kita perlu bersyukur atas ketidaksempurnaan kita.
            Rasa syukur adalah bentuk rasa terima kasih kepada penyelenggara kehidupan. Dan hanya orang-orang yang berhati ikhlaslah yang sesungguhnya mampu bersyukur. Ikhlas adalah kerelaan hati kita terhadap apapun hasil yang nanti Tuhan berikan kepada kita, berdasarkan usaha-usaha yang telah kita lakukan. Termasuk di dalamnya, ikhlas apabila apa yang kita inginkan tidak tercapai seperti yang kita harapkan. Dalam situasi inipun kita mesti bersyukur, sembari tetap memiliki pengharapan bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih indah untuk diri kita. Oleh karenanya, setiap saat kita perlu bersyukur.
            Keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia membuat kita melakukan banyak sekali kesalahan dan menyebabkan kita jatuh dalam kubangan dosa. Oleh karenanya, kita perlu memohon ampun atas keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita. Acapkali kita mengabaikan hal-hal yang kita anggap tidak cukup penting bagi kita dan melulu berfokus pada sesuatu yang kita anggap penting saja. Kita tidak mampu melihat semua hal secara utuh. Kerapkali kita melakukan reduksi-reduksi - memilih dan mengeliminasi – sehingga seringkali kita berlaku tidak adil baik kepada diri sendiri, orang lain dan juga benda-benda dan makluk-makluk lain. Oleh karena itu, sudah semestinyalah kita setiap saat meminta maaf dan mohon pengampunan atas kesalahan, kekhilafan dan dosa-dosa kita.
            Kiranya sikap pasrah – berserah diri, rasa syukur, ikhlas dan kesediaan diri untuk mohon ampun akan menjadikan kita semakin manusiawi. Menjadikan kehidupan kita semakin bermakna bagi diri kita dan sesame. Dan yang pasti kita akan bisa menjalani hidup ini dengan bahagia. Sebab adakah orang yang lebih bahagia lebih dari orang-orang yang mampu pasrah, iklas, bersyukur dan mohon ampun?@


Sriyanta, H.J.
Mahasiswa PPs UNY
Pendidikan Matematika kelas B
NIM 13709251034

25 September 2013

Berfilsafat : Mengolah Pikir, Mengolah Rasa, Mengolah Hidup

“Berfilsafatlah dengan segenap jiwa ragamu. Itulah maka sebenar-benar filsafat adalah refleksi hidupmu sendiri.” (Prof. Dr. Marsigit, M.A.) 

Acapkali ketika mendengar istilah ‘filsafat’ serta merta orang mengaitkannya dengan berpikir tingkat tinggi, beretorika atau hal-hal yang sulit dipahami dengan akal pikiran yang biasa. Akibatnya seringkali orang lebih cenderung menghindari ‘filsafat’. Hal ini tidak lepas dari kecenderungan kebanyakan orang yang tidak mau bersusah payah untuk berpikir tentang sesuatu secara mendalam. Orang cenderung memilih sesuatu yang instan dan pragmatis, tidak mau repot-repot bahkan sekedar untuk mempertimbangkan pilihannya. 

Mengapa berfilsafat itu penting? 
Berfilsafat itu berolah pikir. Ini berarti menggunakan segenap akal budi dan pikiran dalam memandang segala sesuatu. Oleh karenanya berfilsafat itu sebenarnya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh manusia membutuhkan pencerahan hidup yang dituntun terang akal budi, maka filsafat akan selalu dibutuhkan oleh manusia. Sebenarnyalah filsafat adalah kehidupan itu sendiri. Filsafat akan menyerta dalam setiap kehidupan manusia. Filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna terdalam hidup – hakekat hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka benarlah apa yang disampaikan Prof. Dr. Marsigit M.A. bahwa sebenar-benar filsafat adalah refleksi hidup manusia itu sendiri. 

Bagaimanakah berfilsafat yang benar itu? 
Menurut Prof. Dr. Marsigit M.A. berfilsafat yang benar dan terarah adalah berfilsafat sesuai dengan konteksnya. Cara setiap orang berfilsafat akan berbeda satu dengan yang lain, tergantung latar belakang orang yang bersangkutan. Tentu saja orang yang beragama Islam akan berbeda filsafatnya dengan orang Yahudi, berbeda pula dengan orang Kristiani. Filsafat orang yang tidak beragama berbeda dengan orang yang beragama. Cara orang dari suku Jawa berfilsafat tentu berbeda dengan orang yang bersuku Batak atau suku Sunda dan lain sebagainya. Dengan kata lain, orang berfilsafat dipengaruhi oleh konteksnya masing-masing. Filsafat itu merupakan olah pikir yang masih terbuka secara spiritual maupun non spiritual. Kiranya satu hal yang penting dalam berfilsafat adalah orang harus meletakkan spiritual sebagai fondasi atau dasar dan sekaligus muara dalam berfilsafat. Setinggi-tingginya pengembaraan pikiran dalam berfilsafat tetap masih dalam kerangka berspiritual. Bagaimanapun di atas langit filsafat masih ada langit spiritual. Berfilsafat semestinya diarahkan agar manusia dapat semakin mudah menemukan Tuhan Sang Pencipta semesta, supaya manusia semakin dekat dan menyatu dengan Sang Hidup sendiri. Find God in all things, demikian seperti disampaikan oleh St Ignatius Loyola salah seorang pujangga gereja, pendiri ordo Jesuit. 

Kesadaran syarat awal berfilsafat 
Seperti sudah disinggung di depan, filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna terdalam – hakekat tentang sesuatu hal. Untuk bisa memahami hakekat tentang sesuatu hal, manusia harus mempunyai kesadaran akan sesuatu hal tersebut. Oleh karenanya syarat awal berfilsafat adalah kesadaran. Untuk menggapai hakekat, manusia harus mampu meletakkan segenap kesadarannya di depan mereka. Agar dapat menyadari tentang hakekat-hakekat itu, manusia harus menerjemahkan dan diterjemahkan mereka dan dirinya dalam ruang dan waktu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi dengan diri sendiri secara mendalam lewat membaca, berpikir secara mendalam, merenung, berefleksi, berkontemplasi. 
          Memiliki kesadaran berarti mempunyai orientasi akan ruang dan waktu. Mengenal dimensi ruang dan waktu. Di dalam berfilsafat manusia melakukan berbagai eksperimen dengan melakukan manipulasi–manipulasi ruang dan waktu. Mengetahui ruang dengan waktu dan waktu dengan ruang. Dalam filsafat ada permaianan ruang dan waktu. Namun demikian dalam filsafat tetaplah menghargai sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. 

Bahasa filsafat – bahasa analog 
Filsafat itu penjelasan! Dalam filsafat kadang yang penting bukan jawabannya, tapi penjelasannya. Sebagai contoh, atas pertanyaan dari mana asalmu? Kita bisa menjawab berasal dari masa lalu, pun bisa menjawab berasal dari masa depan. Sejauh bisa menjelaskan, maka jawaban yang manapun benar. Untuk dapat menjelaskan dengan baik, manusia membutuhkan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah dipahami. Sayangnya, bahasa manusia itu sakit - mempunyai kelemahan, tidak bisa digunakan untuk mengungkapkan semua hal. Penyakit kebahasaan ini tidak lepas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia di dunia. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka filsafat menggunakan bahasa analog. Bahasa analog dipandang mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang berbeda. Budaya manusia menjadi berkembang karena bahasa analog. Sebagai contoh mantan adalah bahasa analognya bekas. Tentu kita tidak pas jika menyebut presiden yang tidak lagi menjabat misalnya dengan bekas presiden, tetapi kita akan menyebut sebagai mantan presiden. Demikianlah, bahasa dimensi atas digunakan untuk bahasa dimensi rendah tidak cocok, pun sebaliknya. Jika demikian yang terjadi maka hidup tidak akan selaras. Oleh karena itu bisa dikatakan bahasa analog dapat membangun keselarasan dalam hidup. Kerapkali banyak hal lebih mudah dijelaskan dengan bahasa analog agar mudah dimengerti dan dipahami. Kisah pengajaran Yesus kepada para muridnya seperti diwartakan dalam kitab Injil banyak disampaikan dengan perumpamaan-perumpamaan – dengan bahasa analog. Karena dengan begitu ajaranNya bisa dikomunikasikan dalam berbagai dimensi yang berbeda. 
       Akhirnya, berfilsafat itu mempunyai daya bongkar dan daya dobrak yang luar biasa terhadap segala macam kemapanan, baik kemapanan pemikiran dan kemapanan-kemapanan yang lain, bahkan kemapanan hidup. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa berfilsafat sering dihindari, sebab orang tidak mau terusik dari zona mapannya. Dan ketika orang berhenti berfilsafat maka sebenarnya kehidupan itu mandeg! Karena itu berarti orang berhenti berpikir, berhenti berefleksi – berhenti merenung seperti gunung di kedalaman kontemplasi. Lantas apa artinya hidup? Bukankah hidup yang tidak pernah direfleksikan tidak layak untuk dihidupi?@ 

Sriyanta 
Mahasiswa PPs UNY 
Pendidikan Matematika Kelas B 
NIM 13709251034

07 September 2013

Bermain sambil belajar! Konsep inilah yang diusung oleh buku Membongkar Sulap Matematika. Permainan-permainan yang ada di dalam buku ini selain tentu saja mengasyikkan, juga akan membawa Anda pada pemahaman tentang konsep-konsep matematika yang mungkin sebelumnya dianggap sulit menjadi lebih mudah dipahami dengan cara yang berbeda. Dalam buku ini konsep matematika sederhana seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pangkat dan bentuk akar, hingga statistika sederhana dan logika matematika dikemas dalam bentuk permainan sederhana yang menarik seolah-olah seperti sulap yang akan menggugah rasa penasaran dan antusiasme kita untuk terus belajar. Ada 88 ‘permainan’ matematika dalam buku ini yang akan membantu Anda menemukan sisi lain dari matematika, yaitu matematika yang menarik dan sekaligus menghibur, bukan matematika yang menjadi momok menakutkan bagi banyak orang. Semoga buku ini bermanfaat.