13 Februari 2009
Praksis Pendidikan Serba Bertanya
Ini masih ada kaitannya dengan pembelajaran berbasis kelompok. Dalam dinamika pembelajaran berbasis kelompok, ada salah satu kelompok yang mengusulkan agar setiap kelompok menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam diskusi kelompok 5 menit sebelum proses pembelajaran selesai. Saya segera mengapresiasi positif usul tersebut dan menerapkannya dalam dinamika pembelajaran selanjutnya. Dan sungguh luar biasa, ada banyak pertanyaan yang menarik dan menggelitik yang membuat kami semua harus berpikir. Biasanya pada pertemuan berikutnya saya membacakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kelompok pada awal kelas matematika. Saya memberi kesempatan kepada siswa untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di luar dugaan, banyak siswa yang terlibat dan menanggapi. Bagian saya hanya memberi penegasan-penegasan atas jawaban-jawaban para siswa dan memberi penjelasan seperlunya, jika tidak ada siswa yang memberi tanggapan atas pertanyaan tertentu. Pun saya menyarankan referensi tertentu untuk dibaca para siswa sebagai rujukan. Sungguh menyenangkan bukan? Dari proses ini saya sendiri juga mendapatkan banyak hal baru dari para siswa. Setidaknya proses ini memaksa saya untuk berpikir terus menerus dan selalu belajar. Ah... inilah nikmatnya menjadi guru....
Ini beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para siswa dalam pembelajaran Logika Matematika:
Apakah itu bilangan komposit?
Agung adalah siswa yang tampan. Deklaratif benar atau salah? Bukankah tampan itu relatif? Bagaimana menentukan nilai kebenarannya?
Bisa nggak kalimat perintah atau tanya diubah menjadi pernyataan?
Negasi dinegasikan kembali maksudnya bagaimana?
Dan masih banyak lagi pertanyaan lain dan menghangatkan kelas matematika kami.
Ya, kami memang sedang belajar di kelas matematika.
Pendidikan Serba Bertanya
Oleh : HJ. Sriyanto
Diam seribu bahasa. Itulah yang kerapkali terjadi di ruang-ruang kelas di sebagian besar sekolah di negeri ini, setiapkali guru mengajukan pertanyaan ataupun memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Semua mulut malah seolah terkunci rapat, dengan tatapan mata melompong kosong. Sebaliknya, kelas menjadi ramai-riuh, bisik sana-sini ketika guru menjelaskan, dan semakin ramai-riuh ketika tidak ada guru di kelas. Realitas demikian memang sungguh terjadi dibalik tembok-tembok kelas.
Mengapa budaya bertanya, apalagi mempertanyakan belum tumbuh dalam dinamika pendidikan kita? Padahal lewat pertanyaanlah cakrawala pikiran dapat terbuka dan kesadaranpun akan tetap terjaga. Banyak penemuan baru yang gemilang, bermula dari sebuah pertanyaan. Dengan pertanyaan manusia bisa membuka rahasia dunia. Seorang Albert Einstein yang begitu genial, bahkan sampai matinya toh masih bertanya dan bertanya. Dan masih ada banyak pertanyaan yang belum sanggup dijawabnya, pun hingga saat sekarang oleh para ahli di seluruh dunia. Namun hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab manusia yang mampu menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci penjawabannya.(Impian dari Yogyakarta hal. 71).
Masih asingnya kebiasaan bertanya dalam dinamika pendidikan, tidak lepas dari budaya yang hidup dalam masyarakat kita. Dalam masyarakat kita, sebuah pertanyaan seringkali menjadi tabu untuk dilontarkan. Lebih baik diam, daripada muncul pertentangan-konflik sebab adanya suatu pertanyaan. Meskipun sebenarnya berbagai pertanyaan bertalu-talu, menggedor-gedor kepala ingin minta keluar. Sikap yang cenderung diam menerima, di satu sisi telah membungkam sikap kritis masyarakat kita. Pun dikotomi tua-muda dalam masyarakat kita, dimana yang muda harus memiliki sikap hormat terhadap yang tua (sementara yang tua boleh sesukanya?), telah menempatkan yang tua dan yang muda dalam level yang berbeda, dalam derajat yang berbeda untuk banyak hal. Jelas kondisi demikian menutup ruang diskusi, karena diskusi tercipta hanya mengandaikan jika semua yang terlibat dalam diskusi berada dalam kedudukan sama-setara, yang satu tidak merasa lebih tinggi, lebih pandai, lebih tahu dari yang lain. Ketika ada yang muda bertanya, mendebat atau mempertanyakan pada yang tua, hal itu acapkali dianggap sebagai ‘kekurangajaran’, ketidaksopanan, tidak menghormati atau tidak menghargai.
Dan karena anak-anak murid tumbuh dalam budaya masyarakat demikian, maka wajar jika mereka tidak terbiasa untuk bertanya, malu dan takut untuk bertanya. Munculnya perasaan malu dan takut untuk bertanya tersebut juga dipicu oleh budaya pendidikan kita yang belum mampu mendorong siswa untuk bertanya dan mempertanyakan. Sejak TK hingga sekolah menengah, mereka terbiasa duduk bersedeku-mendengarkan guru berceramah. Kalau bertanya akan dianggap bodoh, dan ditertawakan oleh seluruh kelas. Sikap kritis mereka telah ditumpulkan oleh sistem persekolahan yang kaku dan tidak inspiratif, sebuah sistem yang tidak merangsang daya pikir dan imajinasi peserta didik. Tapi sebaliknya, sistem itu malah menggerogoti rasa kepercayaan diri, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang minder, dan tidak memiliki kemandirian berpikir.
Lebih parah lagi, seringkali murid tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Karena tidak adanya kebiasaan bertanya sampai-sampai murid tidak bisa merumuskan pertanyaan, bahkan pertanyaan yang paling sederhana sekalipun. Selain itu, seringkali pula sebenarnya guru sendiri juga tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh memberi kesempatan kepada murid untuk bertanya. Hal itu dapat dilihat dari sedikitnya waktu yang digunakan untuk tanya jawab dibanding untuk menerangkan dalam proses pembelajaran. Memberikan kesempatan bertanya acapkali hanya dilakukan sekedar sebagai formalitas belaka. Biar model pembelajarannya tidak dianggap terlalu konservatif atau konvensional. Kesadaran guru untuk menjadikan proses pembelajaran sebagai ruang eksplorasi bersama, dengan memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk bertanya dan mempertanyakan juga masih rendah.
Upaya terus-menerus untuk menumbuhkan budaya bertanya dan mempertanyakan dalam dinamika pendidikan kita menjadi penting. Para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka, untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan budaya bertanya adalah dengan mengubah model pembelajaran di kelas. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru, yang ditandai dengan dominasi guru dalam proses pembelajaran, dimana guru lebih banyak menerangkan, harus diubah ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Proses pembelajaran yang memberi kesempatan dan ruang yang lebih besar bagi siswa untuk bereksplorasi. Dengan eksplorasi siswa akan lebih banyak menemukan, dan juga menguji pemahamannya sendiri dengan terus-menerus mempertanyakan konsep yang dipelajarinya. Pancingan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai realitas keseharian yang berkait dengan materi ajar, akan merangsang siswa untuk menemukan jawaban sebagai pemecahan masalah atas realitas tersebut. Dalam proses menemukan penyelesaian masalah itulah, akan muncul banyak pertanyaan berkait dengan konsep yang dipelajari siswa.
Hal tersebut juga akan mendorong siswa untuk berdiskusi dengan siswa lain. Ada keyakinan jika di kelas sudah tercipta iklim diskusi diantara para siswa, maka akan muncul banyak pertanyaan yang menggugah mereka untuk bergelut lebih mendalam dengan materi pelajaran. Sehingga mereka pun akan dapat lebih banyak menguasai konsep, dibanding jika sekedar diterangkan guru. Pemahaman tentang konsep itupun juga akan bertahan relatif lebih lama.
Model pembelajaran tutorial sebaya, kiranya juga bisa menjadi salah satu alternatif model pembelajaran untuk merangsang para siswa bertanya dan mempertanyakan. Asumsi dari model pembelajaran ini adalah bahwa siswa lebih terbuka dan lebih bisa mengungkapkan dirinya, baik kegembiraan, kegelisahan maupun kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya kepada teman-teman yang sebaya daripada kepada orang yang lebih dewasa (orangtua atau guru). Demikian juga dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih bisa mengungkapkan kesulitan dan permasalahan yang dialami kepada temannya daripada kepada gurunya. Siswa akan lebih terbuka, tidak canggung dan tidak takut untuk bertanya kepada temannya maupun mempertanyakan pendapat temannya. Siswa juga lebih merasa dipahami dan dimengerti oleh temannya dibandingkan oleh gurunya. Dengan model pembelajaran demikian, siswa yang telah menguasai konsep bisa menjadi tutor bagi siswa-siswa lain yang belum menguasainya. Sementara peran guru lebih pada memfasilitasi proses pembelajaran, sebagai pengamat proses, sekaligus tempat rujukan bagi siswa. Guru hadir setiap kali kelompok membutuhkannya sebagai teman berdiskusi, tempat rujukan atau untuk memberikan peneguhan dan penegasan atas pemahaman siswa.
Pendidikan serba bertanya menjadi kontekstual untuk kondisi pendidikan kita saat sekarang. Pendidikan yang mendorong siswa untuk selalu bertanya dan mempertanyakan akan membantu siswa untuk mengembangkan sikap kritis, membangun kepercayaan diri pada para siswa, menumbuhkan sikap menghargai orang lain dan diharapkan nantinya juga akan dapat membantu siswa untuk memiliki sikap kemandirian berpikir. Apabila kita bisa menghadirkan pendidikan serba bertanya ini dalam dinamika proses pendidikan, maka kita boleh berharap di masa mendatang kualitas pendidikan di negeri ini akan menjadi lebih baik. Semoga@
Diam seribu bahasa. Itulah yang kerapkali terjadi di ruang-ruang kelas di sebagian besar sekolah di negeri ini, setiapkali guru mengajukan pertanyaan ataupun memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Semua mulut malah seolah terkunci rapat, dengan tatapan mata melompong kosong. Sebaliknya, kelas menjadi ramai-riuh, bisik sana-sini ketika guru menjelaskan, dan semakin ramai-riuh ketika tidak ada guru di kelas. Realitas demikian memang sungguh terjadi dibalik tembok-tembok kelas.
Mengapa budaya bertanya, apalagi mempertanyakan belum tumbuh dalam dinamika pendidikan kita? Padahal lewat pertanyaanlah cakrawala pikiran dapat terbuka dan kesadaranpun akan tetap terjaga. Banyak penemuan baru yang gemilang, bermula dari sebuah pertanyaan. Dengan pertanyaan manusia bisa membuka rahasia dunia. Seorang Albert Einstein yang begitu genial, bahkan sampai matinya toh masih bertanya dan bertanya. Dan masih ada banyak pertanyaan yang belum sanggup dijawabnya, pun hingga saat sekarang oleh para ahli di seluruh dunia. Namun hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab manusia yang mampu menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci penjawabannya.(Impian dari Yogyakarta hal. 71).
Masih asingnya kebiasaan bertanya dalam dinamika pendidikan, tidak lepas dari budaya yang hidup dalam masyarakat kita. Dalam masyarakat kita, sebuah pertanyaan seringkali menjadi tabu untuk dilontarkan. Lebih baik diam, daripada muncul pertentangan-konflik sebab adanya suatu pertanyaan. Meskipun sebenarnya berbagai pertanyaan bertalu-talu, menggedor-gedor kepala ingin minta keluar. Sikap yang cenderung diam menerima, di satu sisi telah membungkam sikap kritis masyarakat kita. Pun dikotomi tua-muda dalam masyarakat kita, dimana yang muda harus memiliki sikap hormat terhadap yang tua (sementara yang tua boleh sesukanya?), telah menempatkan yang tua dan yang muda dalam level yang berbeda, dalam derajat yang berbeda untuk banyak hal. Jelas kondisi demikian menutup ruang diskusi, karena diskusi tercipta hanya mengandaikan jika semua yang terlibat dalam diskusi berada dalam kedudukan sama-setara, yang satu tidak merasa lebih tinggi, lebih pandai, lebih tahu dari yang lain. Ketika ada yang muda bertanya, mendebat atau mempertanyakan pada yang tua, hal itu acapkali dianggap sebagai ‘kekurangajaran’, ketidaksopanan, tidak menghormati atau tidak menghargai.
Dan karena anak-anak murid tumbuh dalam budaya masyarakat demikian, maka wajar jika mereka tidak terbiasa untuk bertanya, malu dan takut untuk bertanya. Munculnya perasaan malu dan takut untuk bertanya tersebut juga dipicu oleh budaya pendidikan kita yang belum mampu mendorong siswa untuk bertanya dan mempertanyakan. Sejak TK hingga sekolah menengah, mereka terbiasa duduk bersedeku-mendengarkan guru berceramah. Kalau bertanya akan dianggap bodoh, dan ditertawakan oleh seluruh kelas. Sikap kritis mereka telah ditumpulkan oleh sistem persekolahan yang kaku dan tidak inspiratif, sebuah sistem yang tidak merangsang daya pikir dan imajinasi peserta didik. Tapi sebaliknya, sistem itu malah menggerogoti rasa kepercayaan diri, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang minder, dan tidak memiliki kemandirian berpikir.
Lebih parah lagi, seringkali murid tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Karena tidak adanya kebiasaan bertanya sampai-sampai murid tidak bisa merumuskan pertanyaan, bahkan pertanyaan yang paling sederhana sekalipun. Selain itu, seringkali pula sebenarnya guru sendiri juga tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh memberi kesempatan kepada murid untuk bertanya. Hal itu dapat dilihat dari sedikitnya waktu yang digunakan untuk tanya jawab dibanding untuk menerangkan dalam proses pembelajaran. Memberikan kesempatan bertanya acapkali hanya dilakukan sekedar sebagai formalitas belaka. Biar model pembelajarannya tidak dianggap terlalu konservatif atau konvensional. Kesadaran guru untuk menjadikan proses pembelajaran sebagai ruang eksplorasi bersama, dengan memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk bertanya dan mempertanyakan juga masih rendah.
Upaya terus-menerus untuk menumbuhkan budaya bertanya dan mempertanyakan dalam dinamika pendidikan kita menjadi penting. Para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka, untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan budaya bertanya adalah dengan mengubah model pembelajaran di kelas. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru, yang ditandai dengan dominasi guru dalam proses pembelajaran, dimana guru lebih banyak menerangkan, harus diubah ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Proses pembelajaran yang memberi kesempatan dan ruang yang lebih besar bagi siswa untuk bereksplorasi. Dengan eksplorasi siswa akan lebih banyak menemukan, dan juga menguji pemahamannya sendiri dengan terus-menerus mempertanyakan konsep yang dipelajarinya. Pancingan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai realitas keseharian yang berkait dengan materi ajar, akan merangsang siswa untuk menemukan jawaban sebagai pemecahan masalah atas realitas tersebut. Dalam proses menemukan penyelesaian masalah itulah, akan muncul banyak pertanyaan berkait dengan konsep yang dipelajari siswa.
Hal tersebut juga akan mendorong siswa untuk berdiskusi dengan siswa lain. Ada keyakinan jika di kelas sudah tercipta iklim diskusi diantara para siswa, maka akan muncul banyak pertanyaan yang menggugah mereka untuk bergelut lebih mendalam dengan materi pelajaran. Sehingga mereka pun akan dapat lebih banyak menguasai konsep, dibanding jika sekedar diterangkan guru. Pemahaman tentang konsep itupun juga akan bertahan relatif lebih lama.
Model pembelajaran tutorial sebaya, kiranya juga bisa menjadi salah satu alternatif model pembelajaran untuk merangsang para siswa bertanya dan mempertanyakan. Asumsi dari model pembelajaran ini adalah bahwa siswa lebih terbuka dan lebih bisa mengungkapkan dirinya, baik kegembiraan, kegelisahan maupun kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya kepada teman-teman yang sebaya daripada kepada orang yang lebih dewasa (orangtua atau guru). Demikian juga dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih bisa mengungkapkan kesulitan dan permasalahan yang dialami kepada temannya daripada kepada gurunya. Siswa akan lebih terbuka, tidak canggung dan tidak takut untuk bertanya kepada temannya maupun mempertanyakan pendapat temannya. Siswa juga lebih merasa dipahami dan dimengerti oleh temannya dibandingkan oleh gurunya. Dengan model pembelajaran demikian, siswa yang telah menguasai konsep bisa menjadi tutor bagi siswa-siswa lain yang belum menguasainya. Sementara peran guru lebih pada memfasilitasi proses pembelajaran, sebagai pengamat proses, sekaligus tempat rujukan bagi siswa. Guru hadir setiap kali kelompok membutuhkannya sebagai teman berdiskusi, tempat rujukan atau untuk memberikan peneguhan dan penegasan atas pemahaman siswa.
Pendidikan serba bertanya menjadi kontekstual untuk kondisi pendidikan kita saat sekarang. Pendidikan yang mendorong siswa untuk selalu bertanya dan mempertanyakan akan membantu siswa untuk mengembangkan sikap kritis, membangun kepercayaan diri pada para siswa, menumbuhkan sikap menghargai orang lain dan diharapkan nantinya juga akan dapat membantu siswa untuk memiliki sikap kemandirian berpikir. Apabila kita bisa menghadirkan pendidikan serba bertanya ini dalam dinamika proses pendidikan, maka kita boleh berharap di masa mendatang kualitas pendidikan di negeri ini akan menjadi lebih baik. Semoga@
10 Februari 2009
Pembelajaran Matematika Berbasis Kelompok
Adalah salah satu proyek saya dalam mengembangkan model pembelajaran matematika yang mendorong siswa untuk terlibat secara penuh dalam proses belajar matematika baik di dalam maupun di luar kelas. Model pembelajaran yang mendorong siswa untuk menguasai materi pembelajaran secara menyeluruh dan utuh.
Nah, berikut ini tanggapan para siswa dengan model pembelajaran matematika berbasis kelompok yang saya kembangkan di sekolah.
Haryo X-6/19
Menurutku sistem belajar kelompok ini lebih pas dibanding penjelasan, karena kita bisa langsung aktif berdiskusi. Hanya masalahnya sampai seberapa keseriusan kita?
Kevin X-6/22
Menurutku belajar dalam kelompok lebih menyenangkan. Hasil ulangan sudah cukup naik dibanding hasil pada semester I. Ini bisa dilihat dari nilai siswa di kelas.
Thomas X-6/30
Menurut saya kelompok sudah cukup aktif. Namun sayang ketika tes kemarin saya kurang konsentrasi, sehingga hasilnya kurang memuaskan. Seharusnya saya mampu meraih nilai lebih.
Widy X-6/04
Nilai ulanganku kemarin 60, hal ini dikarenakan aku kurang aktif di dalam kelompok. Untuk ke depan aku akan lebih aktif lagi di dalam kelompok.
Antonius Dian Tresno X-6/06
Menurut saya proses pembelajaran yang terjadi dalam kelompok sangat efektif bagi saya, karena segala kebingungan saya dapat terpecahkan dalam kelompok.
Leonardus Wisnumurti X-6/25
Menurut saya proses pembelajaran dalam kelompok ini sangat membantu, ketika saya lupa akan materi yang dibahas. Disini terjalin relasi kerjasama. Juga didalam kelompok ini saya belajar untuk melihat di bagian mana kami lemah dalam materi. Menurutku juga ada korelasi antara proses dikelompok dengan hasil tes. Kalau proses di kelompok baik, hasil tesnya juga akan baik.
Albert M Wayan X-6/ 03
Menurut saya proses belajar kelompok saat ini sangat membantu sekali, karena dengan belajar kelompok ini saya bisa mendiskusikan soal yang sulit untuk dikerjakan. Tetapi dari hasil tes kemarin aku sadar kalau di rumah aku kurang latihan, sehingga lupa apa yang dipelajari.
Khrisna Widya Gunawan X-6/23
Saya merasa kegiatan belajar kelompok dalam matematika ini memotivasi saya untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Joyo lebih dari bekerja sendirian. Proses pembelajaran kelompok ini juga membuat semakin akrab hubungan antar murid. Dan bila ada soal yang sulit dapat dipecahkan bersama kelompok dan mudah bertanya antar anggota kelompok.
Kelompok Albert Christian, Andre Ian, Killan P, Raymund (X-6/2,5,24,27)
Proses kerja kelompok kami tergolong cukup sukses, karena semua anggota kelompok tuntas dalam tes kemarin. Nilai terendah 66. Kedepannya, kelompok kami akan mengerjakan latihan dengan lebih serius dan membantu anggota kelompok yang kesulitan. Secara pribadi kami akan belajar lebih giat, tidak hanya di sekolah tapi juga diluar sekolah agar lebih maksimal.
Debe X-6/01
Nilai tes yang kemarin aku dapat jelek. Sebenarnya dalam kerja kelompok saya bisa, tetapi kemarin menjadi “blank” semua, jadi tidak maksimal.
Saya akan terus bekerja keras dalam latihan dan tugas, agar dalam tes tidak “blank”.
Dalam belajar kelompok dalam pelajaran matematika sebenarnya saya lebih mudah mengerti dari pada saat pelajaran biasa tanpa kerja kelompok. Dalam tes kemarin saya mendapat nilai jelek karena saya baru mengerjakan sampai dengan latihan dua, karena saya mau mencoba mengerjakan soal satu demi satu dan berusaha mengerjakan sendiri. Dengan mendapat nilai jelek, saya mendapat pengalaman kalau mau mendapat nilai bagus harus belajar dengan serius.
Nino X-6/21
Saya belum merasa bangga atas hasil yang saya peroleh karena proses yang saya lakukan belum maksimal. Selain itu sebagai ketua kelompok saya bisa dibilang gagal karena anggota-anggota saya saya nilainya kurang dari 60, padahal saat latihan mereka dapat mengerjakan soal dengan baik. Saya akan berusaha lebih keras agar semua tuntas.
Dalam kelompok saya akan coba untuk bekerja secara lebih maksimal dan lebih bekerjasama dengan anggota lain supaya semua tuntas.
Galang X-6/15
Menurutku belajar dalam kelompok lebih baik daripada kami belajar sendiri. Karena didalam kelompok kami bisa bertukar pikiran. Selain itu saya bisa menjadi lebih baik.
Pika X-6/29
Menurutku belajar dalam kelompok mampu menumbuhkan persaingan sehat. Karena misalnya salah satu anggota kelompok memiliki nilai bagus, pastilah anggota lain juga ingin memilikinya dan ia akan berusaha.
Trias X-6/32
Menurutku belajar dalam kelompok lebih membantu aku dan teman-teman. Kami bisa lebih memahami kekurangan dalam kelompok dan memperbaiki bersama.
Alvin/07
Menurutku belajar kelompok lebih efektif, bisa saling belajar dan mengajari satu dengan yang lain. Tapi terkadang kita tidak fokus dalam pelajaran, tapi malah “jagongan dhewe”
David X-6/12
Proses pembelajaran kelompok menurut saya cukup membantu dn membuat saya lebih mudah mengerti dalam belajar bersama. Saya juga bisa bertanya pada teman sekelompok kalau ada soal yang tidak saya mengerti. Kerja kelompok ini sesuai karena menurut saya jadi lebih mengasyikkan dan mudah dimengerti.
Bennydiktus Agung X-6/11
Proses belajar kelompok menurut saya sebenarnya lebih mudah memahaminya. Tetapi saya medapatkan nilai kurang karena kurangnya saya berlatih di rumah, sehingga konsep yang sudah mulai saya pahami menjadi tidak berguna karena kurangnya saya berlatih di rumah. Jadi menurut saya, belajar dalam kelompok cenerung lebih mengasyikkan dan mudah memahami konsep.
Sande Vico X-6/10
Menurut saya proses belajar dalam kelompok saya sudah bagus, hanya kami belajar matematika di sekolah saja. Kami jarang belajar dan melanjutkan belajar matematika di rumah. Dengan belajar di dalam kelompok teman yang belum bisa menjadi bisa dengan usaha yang ditunjukannya. Belajar kelompok ini cukup efektif, mesti masih banyak yang ngobrol. Saya cukup puas dengan nilai saya meskipun saya belum belajar dan mengerjakan soal sendiri dengan optimal. Walau saya tidak lihai dalam matematika, tapi saya cukup senang dengan matematika, karena matematika penuh variasi, penuh tantangan dan dituntut kreatif dalam berpikir.
Benedictus H X-6/09
Proses belajar kelompok bisa mengembangkan kemampuanku walaupun sedikit demi sedikit. Ini dapat dilihat dari nilai semester I yang jauh dari tuntas sekarang mendekati nilai tuntas dan diusahakan untuk tuntas di penilaian berikutnya.
Emmanuel Radity Pratama X-6/14
Dengan kerja kelompok ini saya merasa terbantu dan termotivasi untuk belajar matematika. Agar lebih baik lagi saya akan lebih serius dan pantang menyerah dalam menyelesaikan soal matematika.
Florencius Steven Santoso P X-6/16
Kerja kelompok ini lebih memudahkan untuk belajar karena dalam beberapa orang dapat menyelesaikan satu soal dengan berbagai cara.
Secara umum beberapa core values yang dapat dipetik dari proses ini adalah:
[Menumbuhkan rasa percaya diri dan memotivasi siswa dalam belajar matematika]
[Membuka paradigma baru tentang pembelajaran matematika]
[Menumbuhkan sikap kompetitif antar siswa]
[Perubahan Sikap dan minat terhadap matematika]
[Menumbuhkan Empati terhadap orang lain]
Prosesnya bagaimana dan seperti apa?
Tunggu di edisi berikutnya...
Nah, berikut ini tanggapan para siswa dengan model pembelajaran matematika berbasis kelompok yang saya kembangkan di sekolah.
Haryo X-6/19
Menurutku sistem belajar kelompok ini lebih pas dibanding penjelasan, karena kita bisa langsung aktif berdiskusi. Hanya masalahnya sampai seberapa keseriusan kita?
Kevin X-6/22
Menurutku belajar dalam kelompok lebih menyenangkan. Hasil ulangan sudah cukup naik dibanding hasil pada semester I. Ini bisa dilihat dari nilai siswa di kelas.
Thomas X-6/30
Menurut saya kelompok sudah cukup aktif. Namun sayang ketika tes kemarin saya kurang konsentrasi, sehingga hasilnya kurang memuaskan. Seharusnya saya mampu meraih nilai lebih.
Widy X-6/04
Nilai ulanganku kemarin 60, hal ini dikarenakan aku kurang aktif di dalam kelompok. Untuk ke depan aku akan lebih aktif lagi di dalam kelompok.
Antonius Dian Tresno X-6/06
Menurut saya proses pembelajaran yang terjadi dalam kelompok sangat efektif bagi saya, karena segala kebingungan saya dapat terpecahkan dalam kelompok.
Leonardus Wisnumurti X-6/25
Menurut saya proses pembelajaran dalam kelompok ini sangat membantu, ketika saya lupa akan materi yang dibahas. Disini terjalin relasi kerjasama. Juga didalam kelompok ini saya belajar untuk melihat di bagian mana kami lemah dalam materi. Menurutku juga ada korelasi antara proses dikelompok dengan hasil tes. Kalau proses di kelompok baik, hasil tesnya juga akan baik.
Albert M Wayan X-6/ 03
Menurut saya proses belajar kelompok saat ini sangat membantu sekali, karena dengan belajar kelompok ini saya bisa mendiskusikan soal yang sulit untuk dikerjakan. Tetapi dari hasil tes kemarin aku sadar kalau di rumah aku kurang latihan, sehingga lupa apa yang dipelajari.
Khrisna Widya Gunawan X-6/23
Saya merasa kegiatan belajar kelompok dalam matematika ini memotivasi saya untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Joyo lebih dari bekerja sendirian. Proses pembelajaran kelompok ini juga membuat semakin akrab hubungan antar murid. Dan bila ada soal yang sulit dapat dipecahkan bersama kelompok dan mudah bertanya antar anggota kelompok.
Kelompok Albert Christian, Andre Ian, Killan P, Raymund (X-6/2,5,24,27)
Proses kerja kelompok kami tergolong cukup sukses, karena semua anggota kelompok tuntas dalam tes kemarin. Nilai terendah 66. Kedepannya, kelompok kami akan mengerjakan latihan dengan lebih serius dan membantu anggota kelompok yang kesulitan. Secara pribadi kami akan belajar lebih giat, tidak hanya di sekolah tapi juga diluar sekolah agar lebih maksimal.
Debe X-6/01
Nilai tes yang kemarin aku dapat jelek. Sebenarnya dalam kerja kelompok saya bisa, tetapi kemarin menjadi “blank” semua, jadi tidak maksimal.
Saya akan terus bekerja keras dalam latihan dan tugas, agar dalam tes tidak “blank”.
Dalam belajar kelompok dalam pelajaran matematika sebenarnya saya lebih mudah mengerti dari pada saat pelajaran biasa tanpa kerja kelompok. Dalam tes kemarin saya mendapat nilai jelek karena saya baru mengerjakan sampai dengan latihan dua, karena saya mau mencoba mengerjakan soal satu demi satu dan berusaha mengerjakan sendiri. Dengan mendapat nilai jelek, saya mendapat pengalaman kalau mau mendapat nilai bagus harus belajar dengan serius.
Nino X-6/21
Saya belum merasa bangga atas hasil yang saya peroleh karena proses yang saya lakukan belum maksimal. Selain itu sebagai ketua kelompok saya bisa dibilang gagal karena anggota-anggota saya saya nilainya kurang dari 60, padahal saat latihan mereka dapat mengerjakan soal dengan baik. Saya akan berusaha lebih keras agar semua tuntas.
Dalam kelompok saya akan coba untuk bekerja secara lebih maksimal dan lebih bekerjasama dengan anggota lain supaya semua tuntas.
Galang X-6/15
Menurutku belajar dalam kelompok lebih baik daripada kami belajar sendiri. Karena didalam kelompok kami bisa bertukar pikiran. Selain itu saya bisa menjadi lebih baik.
Pika X-6/29
Menurutku belajar dalam kelompok mampu menumbuhkan persaingan sehat. Karena misalnya salah satu anggota kelompok memiliki nilai bagus, pastilah anggota lain juga ingin memilikinya dan ia akan berusaha.
Trias X-6/32
Menurutku belajar dalam kelompok lebih membantu aku dan teman-teman. Kami bisa lebih memahami kekurangan dalam kelompok dan memperbaiki bersama.
Alvin/07
Menurutku belajar kelompok lebih efektif, bisa saling belajar dan mengajari satu dengan yang lain. Tapi terkadang kita tidak fokus dalam pelajaran, tapi malah “jagongan dhewe”
David X-6/12
Proses pembelajaran kelompok menurut saya cukup membantu dn membuat saya lebih mudah mengerti dalam belajar bersama. Saya juga bisa bertanya pada teman sekelompok kalau ada soal yang tidak saya mengerti. Kerja kelompok ini sesuai karena menurut saya jadi lebih mengasyikkan dan mudah dimengerti.
Bennydiktus Agung X-6/11
Proses belajar kelompok menurut saya sebenarnya lebih mudah memahaminya. Tetapi saya medapatkan nilai kurang karena kurangnya saya berlatih di rumah, sehingga konsep yang sudah mulai saya pahami menjadi tidak berguna karena kurangnya saya berlatih di rumah. Jadi menurut saya, belajar dalam kelompok cenerung lebih mengasyikkan dan mudah memahami konsep.
Sande Vico X-6/10
Menurut saya proses belajar dalam kelompok saya sudah bagus, hanya kami belajar matematika di sekolah saja. Kami jarang belajar dan melanjutkan belajar matematika di rumah. Dengan belajar di dalam kelompok teman yang belum bisa menjadi bisa dengan usaha yang ditunjukannya. Belajar kelompok ini cukup efektif, mesti masih banyak yang ngobrol. Saya cukup puas dengan nilai saya meskipun saya belum belajar dan mengerjakan soal sendiri dengan optimal. Walau saya tidak lihai dalam matematika, tapi saya cukup senang dengan matematika, karena matematika penuh variasi, penuh tantangan dan dituntut kreatif dalam berpikir.
Benedictus H X-6/09
Proses belajar kelompok bisa mengembangkan kemampuanku walaupun sedikit demi sedikit. Ini dapat dilihat dari nilai semester I yang jauh dari tuntas sekarang mendekati nilai tuntas dan diusahakan untuk tuntas di penilaian berikutnya.
Emmanuel Radity Pratama X-6/14
Dengan kerja kelompok ini saya merasa terbantu dan termotivasi untuk belajar matematika. Agar lebih baik lagi saya akan lebih serius dan pantang menyerah dalam menyelesaikan soal matematika.
Florencius Steven Santoso P X-6/16
Kerja kelompok ini lebih memudahkan untuk belajar karena dalam beberapa orang dapat menyelesaikan satu soal dengan berbagai cara.
Secara umum beberapa core values yang dapat dipetik dari proses ini adalah:
[Menumbuhkan rasa percaya diri dan memotivasi siswa dalam belajar matematika]
[Membuka paradigma baru tentang pembelajaran matematika]
[Menumbuhkan sikap kompetitif antar siswa]
[Perubahan Sikap dan minat terhadap matematika]
[Menumbuhkan Empati terhadap orang lain]
Prosesnya bagaimana dan seperti apa?
Tunggu di edisi berikutnya...
Langganan:
Postingan (Atom)