Banyak orang menganggap kalau matematika itu ilmu eksak, yang selalu pasti. Seolah tidak pernah terdapat keraguan sama sekali, hanya ada benar atau salah. Untunglah matematika terus berkembang seturut perkembangan peradaban manusia. Sehingga sekarang tidak hanya benar atau salah seperti dalam logika matematika dwi nilai, tapi kebenaran itu relatif. Bisa benar 90%, 50% atau hanya 1 % saja seiring dikembangkannya logika kabur dalam matematika.
Namun sebenarnya sejak awal, para ahli matematika yang biasanya juga ahli filsafat sekaligus ahli-ahli di bidang lainnya sudah menemukan bahwa antara benar dan salah kadang tidak bisa dipisahkan begitu saja, bahwa yang ini benar yang itu salah. Ternyata mereka kadang mendapati bahwa ada sesuatu yang benar sekaligus sesuatu itu salah. Inilah yang dikenal sebagai paradoks.
Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu kontradiksi. Paradoks juga dikenal dengan nama antinomi karena melanggar hukum kontradiksi principium contradictionis (law of contradiction). Sama seperti dilema, paradoks biasa digunakan untuk mematahkan argumentasi lawan dengan menempatkannya ke dalam situasi yang sulit dan serba salah.
Contoh dari paradoks adalah “Semua laki-laki adalah pembohong!” Para cewek pasti akan mengamini pernyataan di atas, sementara bagi para cowok membaca kalimat di atas mungkin hanya akan tersenyum simpul dengan sorot mata tidak bersalah sambil melenggang pergi.
Ketika saya mengatakan, “Semua laki-laki adalah pembohong!” maka ada sesuatu yang aneh di sana. Mengapa? Sebab saya seorang laki-laki, sehingga apa yang saya katakan bahwa “semua laki-laki adalah pembohong” juga merupakan suatu kebohongan. Artinya semua laki-laki bukan pembohong. Jadi mana yang benar, semua laki-laki adalah pembohong atau semua laki-laki bukan pembohong? Bingung kan?!
Paradoks di atas dikembangkan dari paradoks tertua dan sangat terkenal di dunia yaitu paradoks pembohong (liar paradox) atau Epimenides Paradox yang diungkapkan oleh Epimenides yang hidup diabad 6 sebelum masehi. Paradoks itu aslinya adalah sebagai berikut: ”Epimenides si orang Kreta mengatakan bahwa semua orang Kreta adalah pembohong.”
Rangkaian premis berikut ini akan membawa kita pada dua kesimpulan yang bertentangan:
• Jika apa yang dikatan Epimenides benar, ia bukan pembohong.
• Jika Epimenides bukan pembohong, apa yang dikatakannya tidak benar.
• Jika apa yang dikatakannya tidak benar, ia pembohong.
Kesimpulan pertama: Jadi, ia adalah pembohong dan bukan orang jujur.
• Jika yang dikatakan Epimenides tidak benar, ia adalah pembohong.
• Jika ia pembohong, apa yang dikatakannya tidak benar.
• Jika apa yang dikatakannya tidak benar, itu berarti bahwa ia adalah orang jujur.
Kesimpulan kedua: Jadi, ia adalah orang jujur dan bukan pembohong.
Apa yang dikatakan Epimenides sebenarnya secara bersama-sama sekaligus mengandung kebohongan dan kebenaran. Jika kebohongan, berarti ia benar-benar pembohong, dan jika kebenaran, ia adalah seorang yang jujur.
Paradoks diatas jadi masalah besar, terutama bagi para matematikawan, yang memandang dimana dunia itu adalah salah atau benar dan sebuah pernyatan harus punya nilai jelas antara 0 dan 1 atau True (T) dan False (F).
Paradoks terjadi karena kita mengambil referensi dari diri kita sendiri. Kurt Gödel, di tahun 1931, menjelaskan problema self-reference diatas dalam sebuah teorema yang dikenal dengan nama Godel’s Theorem, yang mengatakan: “To every ω-consistent recursive class χ of formulae there correspond recursive class signs r, such that neither v Gen r nor Neg(v Gen r) belongs to Flg(&chi) (where v is the free variable of r.”)
Teorema Godel sendiri terlihat persis seperti sebuah paradoks juga. Intinya niscaya kita akan bertemu dengan kontradiksi kalau kita melakukan self-reference atau kalaupun kita melakukan self-reference pastikan kalau kita tahu bahwa itu adalah self-reference.
Berikut ini beberapa contoh paradoks sederhana dalam matematika.
1 = 2
Bukti:
Misalkan a = b
maka a2 = ab (kalikan kedua ruas dengan a)
a2 − b2 = ab − b2 (kedua ruas kurangi dengan b2)
(a − b)(a + b) = b(a − b) (kedua ruas difaktorkan)
a + b = b [bagi kedua ruas dengan (a − b)]
2b = b (substitusikan a = b)
2 = 1 (bagi kedua ruas dengan b)
Jadi terbukti 1 = 2!
Pada langkah dimana kita membagi dengan (a−b), sebenarnya kita melakukan pembagian dengan 0, karena a = b, sehingga a − b = 0. Dan dalam matematika pembagian dengan 0 tidak didefinisikan, sehingga bukti di atas yang tampaknya benar dan logis, sesungguhnya salah.
Dalam filosofi moral, paradoks memainkan peranan sentral dalam debat tentang etik. Misalnya, peringatan etis untuk "mencintai tetangga kita" adalah tidak hanya kontras, tetapi juga sangat kontradiktif jika tetangga kita itu bersenjata dan selalu mencoba membunuh kita: bila dia berhasil, kita tidak akan berhasil untuk mencintainya. Tetapi untuk menyerang mereka terlebih dahulu atau menahan mereka biasanya tidak dimengerti sebagai tindakan cinta. Ini dapat disebut sebagai dilema etik. Contoh lainnya, adalah konflik antara perintah untuk tidak mencuri dan untuk memberi perhatian kepada keluarga, yang kita tidak mampu memberi mereka makan tanpa kita mencuri uang.
Lalu buat kita yang bukan matematikawan dan hanya orang awam ini, apa artinya paradoks tersebut? Berhati-hatilah ketika ada orang atau pihak yang mengklaim memiliki kebenaran dan benar 100% sehingga semua yang lain salah. Karena sudah sama-sama kita ketahui dari paradoks bahwa benar dan salah adalah sekaligus sebuah kontradiksi.
01 Desember 2009
09 November 2009
Jangan Pernah Menyerah dengan Matematika
Windy adalah salah satu siswa yang terkenal di kelas matematika selama duduk di bangku SMA. Di kelas sewaktu sekolah, memang ada beberapa siswa yang sangat terkenal dan dikenal oleh guru dan teman-temannya. Biasanya siswa tersebut pinter, jagoan di kelas atau sebaliknya- siswa yang ekstrem satunya, “ngga bisa apa-apa” atau “katrok” bangetlah pinjam istilahnya Tukul Arwana. Dan sayangnya, Windy masuk kategori yang ekstrem kedua, seringkali dianggap ‘nothing’ dalam pelajaran matematika. Setiap habis ulangan bisa dipastikan dia salah satu siswa yang harus mengikuti kelas remedial. Sehingga julukan “Mr. Remidi” melekat padanya.
Apakah Windy, diam dan menyerah begitu saja? Bagi kebanyakan siswa ketika dirinya dianggap “nothing” oleh kebanyakan teman dan gurunya dia biasanya akan menyerah, diam dan tidak melakukan apa-apa, cenderung memandang rendah dirinya sendiri, nggak percaya diri dan lebih percaya kalau dirinya memang nggak bisa apa-apa. Tapi hal itu ternyata tidak untuk Windy! Dia mengakui memang dirinya lemah dalam pelajaran matematika. Dia menyadari dia kurang dalam pelajaran ini. Tapi dia masih punya dua hal, pertama, keyakinan bahwa matematika bisa dipelajarinya, kedua dia memiliki ketekunan. Mungkin dua hal itu, yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang menyerah terhadap matematika. Dengan dua hal itu Windy bertahan untuk terus belajar matematika.
Windy yang SD dan SMPnya ditempuh di Papua dan ketika menginjak SMA melanjutkan studi di Yogyakarta itu, memang menyadari benar kemampuannya. Dia tidak malu mengakui bahwa dirinya butuh lebih banyak waktu untuk memahami suatu materi matematika dibanding teman-temannya yang lain. Mungkin sekali dijelaskan, teman-temannya sudah paham. Tapi windy butuh dua atau tiga kali penjelasan untuk materi yang sama. Untunglah, guru matematikanya seorang pastor yang memiliki kesabaran dua atau tiga kali lebih banyak daripada guru matematika biasa dan mau membuka kelas matrikulasi untuk siswa-siswa yang tertinggal dalam pelajaran matematika.
Untuk mengejar ketertinggalannya Windy selalu mengikuti kelas matrikulasi matematika yang diadakan sore hari di sekolahnya. Selain itu, dia juga menyediakan waktu khusus untuk belajar matematika sendiri, entah untuk mengulangi materi atau mengerjakan PR. Jadi bisa dipastikan, Windy adalah salah satu siswa di kelas dan mungkin di sekolahnya yang selalu mengerjakan PR matematika. Meski juga bisa dipastikan dari pekerjaan itu banyak yang salah juga. Tapi dari mengerjakan PR itu, dia sedikit-sedikit tahu kesalahan yang dibuatnya, bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya tersebut dan memperbaiki kesalahan itu lewat mengerjakan ulang PR yang salah itu.
Windy memang “Mr Remidi”, setiap kali ulangan dia memang boleh dikata nilainya hampir selalu dibawah standar ketuntasan belajar. Tapi nilai hasil remidi yang diikutinya pasti selalu diatas tujuh puluh, tak jarang mendekati nilai sempurna. Dan jangan heran, meski jagoan “remidi”, Windy lulus SMA dari jurusan IPA. Kini ia sedang menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Teknik Informatika di salah satu PTS cukup terkenal di Yogyakarta. “Jangan pernah menyerah dengan matematika, meski sesulit apapun. Dia akan memberikan pada kita sesuatu yang memang pantas untuk diperjuangkan. Cara berpikir, bernalar yang benar, berpikir secara logis dan sistematis.” Ungkapnya penuh keyakinan. “Kamu boleh tidak percaya, tapi saya sudah membuktikannya!” Percaya deh…
Apakah Windy, diam dan menyerah begitu saja? Bagi kebanyakan siswa ketika dirinya dianggap “nothing” oleh kebanyakan teman dan gurunya dia biasanya akan menyerah, diam dan tidak melakukan apa-apa, cenderung memandang rendah dirinya sendiri, nggak percaya diri dan lebih percaya kalau dirinya memang nggak bisa apa-apa. Tapi hal itu ternyata tidak untuk Windy! Dia mengakui memang dirinya lemah dalam pelajaran matematika. Dia menyadari dia kurang dalam pelajaran ini. Tapi dia masih punya dua hal, pertama, keyakinan bahwa matematika bisa dipelajarinya, kedua dia memiliki ketekunan. Mungkin dua hal itu, yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang menyerah terhadap matematika. Dengan dua hal itu Windy bertahan untuk terus belajar matematika.
Windy yang SD dan SMPnya ditempuh di Papua dan ketika menginjak SMA melanjutkan studi di Yogyakarta itu, memang menyadari benar kemampuannya. Dia tidak malu mengakui bahwa dirinya butuh lebih banyak waktu untuk memahami suatu materi matematika dibanding teman-temannya yang lain. Mungkin sekali dijelaskan, teman-temannya sudah paham. Tapi windy butuh dua atau tiga kali penjelasan untuk materi yang sama. Untunglah, guru matematikanya seorang pastor yang memiliki kesabaran dua atau tiga kali lebih banyak daripada guru matematika biasa dan mau membuka kelas matrikulasi untuk siswa-siswa yang tertinggal dalam pelajaran matematika.
Untuk mengejar ketertinggalannya Windy selalu mengikuti kelas matrikulasi matematika yang diadakan sore hari di sekolahnya. Selain itu, dia juga menyediakan waktu khusus untuk belajar matematika sendiri, entah untuk mengulangi materi atau mengerjakan PR. Jadi bisa dipastikan, Windy adalah salah satu siswa di kelas dan mungkin di sekolahnya yang selalu mengerjakan PR matematika. Meski juga bisa dipastikan dari pekerjaan itu banyak yang salah juga. Tapi dari mengerjakan PR itu, dia sedikit-sedikit tahu kesalahan yang dibuatnya, bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya tersebut dan memperbaiki kesalahan itu lewat mengerjakan ulang PR yang salah itu.
Windy memang “Mr Remidi”, setiap kali ulangan dia memang boleh dikata nilainya hampir selalu dibawah standar ketuntasan belajar. Tapi nilai hasil remidi yang diikutinya pasti selalu diatas tujuh puluh, tak jarang mendekati nilai sempurna. Dan jangan heran, meski jagoan “remidi”, Windy lulus SMA dari jurusan IPA. Kini ia sedang menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Teknik Informatika di salah satu PTS cukup terkenal di Yogyakarta. “Jangan pernah menyerah dengan matematika, meski sesulit apapun. Dia akan memberikan pada kita sesuatu yang memang pantas untuk diperjuangkan. Cara berpikir, bernalar yang benar, berpikir secara logis dan sistematis.” Ungkapnya penuh keyakinan. “Kamu boleh tidak percaya, tapi saya sudah membuktikannya!” Percaya deh…
Berbagi Matematika
Pak Yanto, begitu dia sering disapa, mengakui suka dengan matematika sejak kecil. Dan jika ditanya “mengapa suka matematika?” hingga sekarang dia selalu mengatakan tidak tahu alasannya. “Suka saja!”, begitu ia selalu menjawab. Sewaktu SD matematika adalah pelajaran favoritnya. PR yang selalu dikerjakannya adalah PR matematika. Bahkan ketika tidak ada PR pun dia selalu memaksa ibunya untuk membuatkan soal PR matematika.
Namun, kesukaannya terhadap matematika sempat meredup ketika SMP. Nilai matematikanya tidak cukup memuaskan buat dirinya, meskipun jika dibanding teman-temannya yang lain sebenarnya lebih dari cukup. “Waktu di SMP, guru matematikanya tidak menyenangkan.” kilahnya. Namun demikian, dia tetap belajar matematika meski standar seperti teman-teman lainnya, tidak seperti waktu di SD dulu.
Sewaktu SMA minatnya pada matematika kembali tumbuh. Di sekolah dia dikenal sebagai jago matematika oleh teman-temannya. Setiap pagi, dia selalu menjadi orang yang paling ditunggu di kelasnya. Teman-temannya sudah banyak yang antri untuk melihat dan mencontoh PR atau tugas matematikanya. Kadang malah ada yang pagi-pagi sudah nyamperi kerumahnya. Resikonya, karena “digilir” banyak temannya, kertas pekerjaannya jadi lecek dan tak jarang sobek. Untuk itu kadang dia harus buat tugas yang dikumpul rangkap dua. Maka jangan heran, kalau dia sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika meski selama SMA itu tak satupun kejuaraan yang dimenanginya. Tapi itu tidak membuatnya surut menyukai matematika. Sebaliknya, hal itu membawanya pada kesadaran bahwa dia belajar matematika untuk tahu, mengerti dan paham tentang konsep matematika dan kalau bisa membagi apa yang diketahuinya itu pada teman-teman lain yang mau belajar matematika, bukan untuk menjadi juara lomba matematika, apalagi sekedar mendapatkan nilai matematika yang baik. Kesadaran baru itu semakin membawanya pada rasa suka yang lebih besar terhadap matematika.
Pada waktu SMA itulah, ia juga berinisiatif mengajari teman-temannya belajar matematika seminggu dua kali untuk persiapan ujian nasional di sekolahnya. Dan hasilnya, semua teman satu kelasnya lulus, meski dia sendiri hanya memperoleh nilai 6,25 untuk pelajaran matematika.
Kecintaannya terhadap matematika membuatnya memilih jurusan pendidikan matematika di salah satu PTS terkemuka di Yogyakarta, sebagai pintu masuknya menjadi guru untuk berbagi matematika dengan banyak orang. Kini ia pun menjadi guru matematika dan berbagi matematika dengan murid-muridnya.
Namun, kesukaannya terhadap matematika sempat meredup ketika SMP. Nilai matematikanya tidak cukup memuaskan buat dirinya, meskipun jika dibanding teman-temannya yang lain sebenarnya lebih dari cukup. “Waktu di SMP, guru matematikanya tidak menyenangkan.” kilahnya. Namun demikian, dia tetap belajar matematika meski standar seperti teman-teman lainnya, tidak seperti waktu di SD dulu.
Sewaktu SMA minatnya pada matematika kembali tumbuh. Di sekolah dia dikenal sebagai jago matematika oleh teman-temannya. Setiap pagi, dia selalu menjadi orang yang paling ditunggu di kelasnya. Teman-temannya sudah banyak yang antri untuk melihat dan mencontoh PR atau tugas matematikanya. Kadang malah ada yang pagi-pagi sudah nyamperi kerumahnya. Resikonya, karena “digilir” banyak temannya, kertas pekerjaannya jadi lecek dan tak jarang sobek. Untuk itu kadang dia harus buat tugas yang dikumpul rangkap dua. Maka jangan heran, kalau dia sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika meski selama SMA itu tak satupun kejuaraan yang dimenanginya. Tapi itu tidak membuatnya surut menyukai matematika. Sebaliknya, hal itu membawanya pada kesadaran bahwa dia belajar matematika untuk tahu, mengerti dan paham tentang konsep matematika dan kalau bisa membagi apa yang diketahuinya itu pada teman-teman lain yang mau belajar matematika, bukan untuk menjadi juara lomba matematika, apalagi sekedar mendapatkan nilai matematika yang baik. Kesadaran baru itu semakin membawanya pada rasa suka yang lebih besar terhadap matematika.
Pada waktu SMA itulah, ia juga berinisiatif mengajari teman-temannya belajar matematika seminggu dua kali untuk persiapan ujian nasional di sekolahnya. Dan hasilnya, semua teman satu kelasnya lulus, meski dia sendiri hanya memperoleh nilai 6,25 untuk pelajaran matematika.
Kecintaannya terhadap matematika membuatnya memilih jurusan pendidikan matematika di salah satu PTS terkemuka di Yogyakarta, sebagai pintu masuknya menjadi guru untuk berbagi matematika dengan banyak orang. Kini ia pun menjadi guru matematika dan berbagi matematika dengan murid-muridnya.
18 Juni 2009
Metode Horizontal Perbarui Cara Vertikal
MATEMATIKA
Metode Horizontal Perbarui Cara Vertikal
Rabu, 17 Juni 2009 | 04:17 WIB
Oleh STEPHANUS IVAN GOENAWAN
Pengajaran berhitung dasar yang diajarkan di sekolah selama ini, meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, jika dilihat dari proses hitungnya, semua dilakukan secara vertikal.
Metode berhitung secara terstruktur ini disebut juga sebagai metode hitung tradisional. Sesuai dengan namanya, proses hitungnya dimulai dari atas menuju ke bawah. Karena metode hitung ini telah digunakan dalam dunia pendidikan selama berabad- abad, maka dapat disebut sebagai cara tradisional.
Pengajaran berhitung terstruktur secara horizontal merupakan cara berhitung baru, sebagai penyempurnaan cara hitung vertikal atau tradisional. Mengapa disebut sebagai penyempurnaan proses hitung tradisional?
Ada tiga alasan yang mendasari pernyataan tersebut berdasarkan proses hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Pertama, konsep asosiasi tempat satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya dalam metode tradisional untuk menyelesaikan proses hitung penjumlahan atau pengurangan tentu saja sudah ada, tetapi penekanannya kurang karena pemisahan nilai antara satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya tidak ditandai secara tegas dengan suatu notasi pemisah. Sedangkan pada metode horisontal konsep asosiasi nilai secara tegas dipisah dengan notasi pagar. Dengan adanya notasi pagar maka nilai tempat satuan, puluhan (|), ratusan (||) dan seterusnya menjadi lebih mudah dipahami dan dibayangkan.
Kedua, proses hitung perkalian melalui cara horizontal ternyata dapat menciptakan pola-pola khusus yang disebut sebagai portal atau pola horizontal. Melalui portal, proses perkalian menjadi lebih cepat dibandingkan dengan cara tradisional. Misal kuadrat bilangan 85 bila dikerjakan dengan metode horisontal adalah sebagai berikut; 8x(8+1)||25>72||25, atau hasilnya adalah tujuh ribu dua ratus dua puluh lima.
Selain itu, perhitungan cara horizontal merupakan pengajaran perantara yang baik dari belajar berhitung dasar secara tradisional masuk ke bidang aljabar. Aljabar merupakan cabang matematika dengan tanda-tanda dan huruf-huruf untuk menggambarkan atau mewakili angka-angka (KBBI). Dengan cara horizontal, khususnya penyelesaian perkalian menggunakan portal, siswa dituntun mengenal dari nilai variabel. Pengetahuan ini adalah fondasi dasar memahami sebuah persamaan atau fungsi dalam ilmu aljabar. Misalkan portal kuadrat a5 adalah ax(a+1)||25, di mana contoh soalnya seperti nampak di atas.
Kemampuan siswa mengenal keteraturan pola angka juga dapat dikembangkan melalui portal-portal metode horizontal. Melalui kemampuan ini metode horizontal mampu menciptakan creative human calculator—siswa mampu lakukan perhitungan perkalian melebihi kemampuan kalkulator 12 digit. Kemampuan ini bukan lagi merupakan bakat sejak lahir (gifted), tetapi dapat dipelajari melalui metris sehingga potensi kreativitas siswa dalam berhitung semakin terasah. Kita bisa menyaksikan kemampuan mereka dalam Olimpiade Kreativitas Angka (OKA) II pada 14 November 2009 di Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Dalam proses perhitungan pembagian dengan cara tradisional, mencari hasil akhir dilakukan dengan serial mencari hasil sementara secara bertahap. Hasil sementara itu bila dikalikan dengan bilangan pembagi harus lebih kecil atau sama dengan pembilangnya. Bila perhitungan dilakukan dengan cara horizontal, aturannya lebih umum sehingga bisa lebih cepat mencapai hasil akhir.
Ketiga-alasan ini menjelaskan mengapa pembagian cara horizontal adalah penyempurnaan cara tradisional. Hasil sementara proses penghitungan pembagian metris bila dikalikan dengan bilangan pembagi boleh lebih kecil, lebih besar, atau sama dengan pembilangnya karena dasar pemilihan hasil sementara adalah selisih terkecil-pembilang dikurangi perkalian antara hasil sementara dengan bilangan pembagi. Selisih itu bisa bernilai positif atau negatif. Karena konsepnya menggunakan selisih terkecil, cara horizontal mampu memperoleh hasil akhir lebih cepat karena lebih cepat konvergen (Metris: pembagian ajaib, Grassindo).
Kita sepakat, berhitung merupakan ilmu dasar dan pintu gerbang mempelajari ilmu pengetahuan lain. Oleh karena itu, agar pendidikan di Indonesia dapat mengejar ketertinggalan bahkan menjadi lebih unggul dari pada bangsa lain, Indonesia mesti mengembangkan metode pengajaran yang kreatif dan inovatif secara mandiri.
STEPHANUS IVAN GOENAWAN Penemu Metris, Dosen FT Universitas Atma Jaya
Metode Horizontal Perbarui Cara Vertikal
Rabu, 17 Juni 2009 | 04:17 WIB
Oleh STEPHANUS IVAN GOENAWAN
Pengajaran berhitung dasar yang diajarkan di sekolah selama ini, meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, jika dilihat dari proses hitungnya, semua dilakukan secara vertikal.
Metode berhitung secara terstruktur ini disebut juga sebagai metode hitung tradisional. Sesuai dengan namanya, proses hitungnya dimulai dari atas menuju ke bawah. Karena metode hitung ini telah digunakan dalam dunia pendidikan selama berabad- abad, maka dapat disebut sebagai cara tradisional.
Pengajaran berhitung terstruktur secara horizontal merupakan cara berhitung baru, sebagai penyempurnaan cara hitung vertikal atau tradisional. Mengapa disebut sebagai penyempurnaan proses hitung tradisional?
Ada tiga alasan yang mendasari pernyataan tersebut berdasarkan proses hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Pertama, konsep asosiasi tempat satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya dalam metode tradisional untuk menyelesaikan proses hitung penjumlahan atau pengurangan tentu saja sudah ada, tetapi penekanannya kurang karena pemisahan nilai antara satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya tidak ditandai secara tegas dengan suatu notasi pemisah. Sedangkan pada metode horisontal konsep asosiasi nilai secara tegas dipisah dengan notasi pagar. Dengan adanya notasi pagar maka nilai tempat satuan, puluhan (|), ratusan (||) dan seterusnya menjadi lebih mudah dipahami dan dibayangkan.
Kedua, proses hitung perkalian melalui cara horizontal ternyata dapat menciptakan pola-pola khusus yang disebut sebagai portal atau pola horizontal. Melalui portal, proses perkalian menjadi lebih cepat dibandingkan dengan cara tradisional. Misal kuadrat bilangan 85 bila dikerjakan dengan metode horisontal adalah sebagai berikut; 8x(8+1)||25>72||25, atau hasilnya adalah tujuh ribu dua ratus dua puluh lima.
Selain itu, perhitungan cara horizontal merupakan pengajaran perantara yang baik dari belajar berhitung dasar secara tradisional masuk ke bidang aljabar. Aljabar merupakan cabang matematika dengan tanda-tanda dan huruf-huruf untuk menggambarkan atau mewakili angka-angka (KBBI). Dengan cara horizontal, khususnya penyelesaian perkalian menggunakan portal, siswa dituntun mengenal dari nilai variabel. Pengetahuan ini adalah fondasi dasar memahami sebuah persamaan atau fungsi dalam ilmu aljabar. Misalkan portal kuadrat a5 adalah ax(a+1)||25, di mana contoh soalnya seperti nampak di atas.
Kemampuan siswa mengenal keteraturan pola angka juga dapat dikembangkan melalui portal-portal metode horizontal. Melalui kemampuan ini metode horizontal mampu menciptakan creative human calculator—siswa mampu lakukan perhitungan perkalian melebihi kemampuan kalkulator 12 digit. Kemampuan ini bukan lagi merupakan bakat sejak lahir (gifted), tetapi dapat dipelajari melalui metris sehingga potensi kreativitas siswa dalam berhitung semakin terasah. Kita bisa menyaksikan kemampuan mereka dalam Olimpiade Kreativitas Angka (OKA) II pada 14 November 2009 di Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Dalam proses perhitungan pembagian dengan cara tradisional, mencari hasil akhir dilakukan dengan serial mencari hasil sementara secara bertahap. Hasil sementara itu bila dikalikan dengan bilangan pembagi harus lebih kecil atau sama dengan pembilangnya. Bila perhitungan dilakukan dengan cara horizontal, aturannya lebih umum sehingga bisa lebih cepat mencapai hasil akhir.
Ketiga-alasan ini menjelaskan mengapa pembagian cara horizontal adalah penyempurnaan cara tradisional. Hasil sementara proses penghitungan pembagian metris bila dikalikan dengan bilangan pembagi boleh lebih kecil, lebih besar, atau sama dengan pembilangnya karena dasar pemilihan hasil sementara adalah selisih terkecil-pembilang dikurangi perkalian antara hasil sementara dengan bilangan pembagi. Selisih itu bisa bernilai positif atau negatif. Karena konsepnya menggunakan selisih terkecil, cara horizontal mampu memperoleh hasil akhir lebih cepat karena lebih cepat konvergen (Metris: pembagian ajaib, Grassindo).
Kita sepakat, berhitung merupakan ilmu dasar dan pintu gerbang mempelajari ilmu pengetahuan lain. Oleh karena itu, agar pendidikan di Indonesia dapat mengejar ketertinggalan bahkan menjadi lebih unggul dari pada bangsa lain, Indonesia mesti mengembangkan metode pengajaran yang kreatif dan inovatif secara mandiri.
STEPHANUS IVAN GOENAWAN Penemu Metris, Dosen FT Universitas Atma Jaya
17 Juni 2009
Cerita tentang "Monster Matematika"
Setelah sekian lama tidak aktif menulis di blog, khususnya setelah perjalanan dari Timor Leste dan Australia. Pagi ini saya membuka rumah matematika. Dan sungguh surprise banget, saya menemukan komentar yang ditulis oleh Penulis artikel "monster matematika" di Kompas yang saat itu masih duduk di bangku SD. Terima kasih Non Nandiasa. Senang mendengar kisahmu kembali. Sungguh inspiratif. Tulisan itu paling tidak membuat dan memaksa aku berefleksi sebagai guru matematika. Dan refleksi atas tulisan itu aku share ke banyak kolega guru matematika, paling tidak yang membaca KOMPAS. Nah, berikut adalah kisah yang ditulis Non Nandiasa tentang matematika dan menurutku sekali lagi sangat inspiratif. Bukankah tak ada pelajaran yang lebih berharga selain sharing hidup itu sendiri?
halo bapak yang menulis komentar ini...
Kenalkan pak, saya anak SD yang dulu pernah menulis artikel "Monster Matematika" di kompas tersebut. Sampai sekarang saya
masih menyimpan artikelnya ^^Saya sangat terkesan dengan sikap bapak terhadap realitas proses belajar ilmu pasti (khususnya matematika ya hehe) di Indonesia. Alhamdulilah setelah tujuh tahun lalu saya 'bermusuhan' dengan matematika, saya sempat menemukan saat dimana saya menyukai matematika hahahaa...
Saat2 itu dimulai dari kelas 2 smp...kelas 1 smp memang masih ada guru yg seperti itu haha..tapi sejak kelas 2 smp, saya privat dengn salah satu tetangga. Dan menurut saya guru saya tersebut sangat menyenangkan. Cara mengajarnya juga aplikatif. Dimulai dengan memberi saya soal yg cukup mudah, terus ia memberi saya tiga lagi soal dengan tingkat setipe..lalu saya mengerjakannya dengan benar. Ia lalu
bertanya, mau mengerjakan soal seperti ini lagi atau lanjut? Karena saya senang mengerjakannya, saya mau lagi dan lagi mengerjakan soal dengan tipe sprti tadi.
Dengan hal ini, guru saya telah memunculkan rasa percaya diri kepada saya untuk AKHIRNYA ^^ bisa mengerjakan matematika tanpa stres hehehe...setelah itu guru saya menyuruh saya mengajarkan langakh2nya kepada ibu saya. Saya tahu mungkin saat itu ibu saya sudah tahu, tapi ketika saya jelaskan "gini lho caranya!!" lalu mendengar ibu saya ilang "Oo..! Jadi..." saya merasa orang paling pintar matematika sedunia hahaha...
Besok paginya dikelas, guru saya memberikan soal yang persisss setipe dengan yang saya pelajari sebelumnya itu. Kontan sy berdiri dan memberanikan diri maju. Saya mengerjakannya dengan benar semua...setelah itu saya sering maju kedepan kelas untuk mengerjakan soal dan kadang mengajari teman saya...guru saya pun mengakui adanya kemajuan ini, apalagi temen2 saya hehehehe...
lalu yang paling absurd, saat saya pindah ke daerah serpong saat kelas 3 smp. Kepala sekolah di sekolah tersebut memang terkenal sangat perhatian terhadap muridnya karena sekolahnya juga baru, dan muridnya sedikit...
Disitu alergi saya terhadap matematika muncul lagi karena sudah terlalu lama liburannya hehehe...tapi setelah beberapa lama, tiba2 kepala sekolah meminta saya ikut olimpiade MIPA di salah satu sekolah (tepatnya madrasah) yang terkenal dengan siswa/i nya yang pintar, cerdas, dan bermoral tinggi. Saya langsung kaget dong! Bisa apa saya ko tiba2 diminta ikut olimpiade MIPA??
Gila apa, mau kalah!
Setelah dikarantina beberapa hari, memang tim saya kalah. Dari 51 sekolah, saya berada pada urutan 49 ahahahahhaa...tapi setelah itu ibu saya senang melihat wajah saya. Ternyata kepala sekolah memang sengaja meletakkan saya di olimpiade tersebut agar kepercayaan diri saya terhadap matematika bisa tumbuh.
Terharu...
Besoknya saya berniat aktif dikelas matematika, karena sekarang ternyata kepala sekolahnya yang mengajar. Dan hati saya jumpalitan bukan main ketika suatu hari saya mendapat nilai 100 untuk ulangan mtk T.T...bener2 ga nyangka!! Saya yang bego matematika dulu gini...hahaha...
dan alhamdulilah sekarang saya sudah berkuliah di ITB, Bandung, di fakultas paling keren se ITB (hehehhehee), menjelang semester ke 3. Saya tahu fakultas ini bukan fakultas yang mengandalkan matematika atau MIPA sebagai pegangan utama akademiknya. Tapi saya sangat bahagia berkuliah dsini karena dsinilah saya menemukan orang2 yang setipe...hahahaha
Saya sangat berterimakasih kepada keluarga saya, terutama ibu yang selama ini selalu yakin terhadap kemampuan saya, lalu semua guru2, dan guru seperti bapak :))
halo bapak yang menulis komentar ini...
Kenalkan pak, saya anak SD yang dulu pernah menulis artikel "Monster Matematika" di kompas tersebut. Sampai sekarang saya
masih menyimpan artikelnya ^^Saya sangat terkesan dengan sikap bapak terhadap realitas proses belajar ilmu pasti (khususnya matematika ya hehe) di Indonesia. Alhamdulilah setelah tujuh tahun lalu saya 'bermusuhan' dengan matematika, saya sempat menemukan saat dimana saya menyukai matematika hahahaa...
Saat2 itu dimulai dari kelas 2 smp...kelas 1 smp memang masih ada guru yg seperti itu haha..tapi sejak kelas 2 smp, saya privat dengn salah satu tetangga. Dan menurut saya guru saya tersebut sangat menyenangkan. Cara mengajarnya juga aplikatif. Dimulai dengan memberi saya soal yg cukup mudah, terus ia memberi saya tiga lagi soal dengan tingkat setipe..lalu saya mengerjakannya dengan benar. Ia lalu
bertanya, mau mengerjakan soal seperti ini lagi atau lanjut? Karena saya senang mengerjakannya, saya mau lagi dan lagi mengerjakan soal dengan tipe sprti tadi.
Dengan hal ini, guru saya telah memunculkan rasa percaya diri kepada saya untuk AKHIRNYA ^^ bisa mengerjakan matematika tanpa stres hehehe...setelah itu guru saya menyuruh saya mengajarkan langakh2nya kepada ibu saya. Saya tahu mungkin saat itu ibu saya sudah tahu, tapi ketika saya jelaskan "gini lho caranya!!" lalu mendengar ibu saya ilang "Oo..! Jadi..." saya merasa orang paling pintar matematika sedunia hahaha...
Besok paginya dikelas, guru saya memberikan soal yang persisss setipe dengan yang saya pelajari sebelumnya itu. Kontan sy berdiri dan memberanikan diri maju. Saya mengerjakannya dengan benar semua...setelah itu saya sering maju kedepan kelas untuk mengerjakan soal dan kadang mengajari teman saya...guru saya pun mengakui adanya kemajuan ini, apalagi temen2 saya hehehehe...
lalu yang paling absurd, saat saya pindah ke daerah serpong saat kelas 3 smp. Kepala sekolah di sekolah tersebut memang terkenal sangat perhatian terhadap muridnya karena sekolahnya juga baru, dan muridnya sedikit...
Disitu alergi saya terhadap matematika muncul lagi karena sudah terlalu lama liburannya hehehe...tapi setelah beberapa lama, tiba2 kepala sekolah meminta saya ikut olimpiade MIPA di salah satu sekolah (tepatnya madrasah) yang terkenal dengan siswa/i nya yang pintar, cerdas, dan bermoral tinggi. Saya langsung kaget dong! Bisa apa saya ko tiba2 diminta ikut olimpiade MIPA??
Gila apa, mau kalah!
Setelah dikarantina beberapa hari, memang tim saya kalah. Dari 51 sekolah, saya berada pada urutan 49 ahahahahhaa...tapi setelah itu ibu saya senang melihat wajah saya. Ternyata kepala sekolah memang sengaja meletakkan saya di olimpiade tersebut agar kepercayaan diri saya terhadap matematika bisa tumbuh.
Terharu...
Besoknya saya berniat aktif dikelas matematika, karena sekarang ternyata kepala sekolahnya yang mengajar. Dan hati saya jumpalitan bukan main ketika suatu hari saya mendapat nilai 100 untuk ulangan mtk T.T...bener2 ga nyangka!! Saya yang bego matematika dulu gini...hahaha...
dan alhamdulilah sekarang saya sudah berkuliah di ITB, Bandung, di fakultas paling keren se ITB (hehehhehee), menjelang semester ke 3. Saya tahu fakultas ini bukan fakultas yang mengandalkan matematika atau MIPA sebagai pegangan utama akademiknya. Tapi saya sangat bahagia berkuliah dsini karena dsinilah saya menemukan orang2 yang setipe...hahahaha
Saya sangat berterimakasih kepada keluarga saya, terutama ibu yang selama ini selalu yakin terhadap kemampuan saya, lalu semua guru2, dan guru seperti bapak :))
15 April 2009
04 April 2009
101%
101%
From a strictly mathematical viewpoint:
What Equals 100%?
What does it mean to give MORE than 100%?
Ever wonder about those people who say they are giving more than 100%?
We have all been in situations where someone wants you to
GIVE OVER 100%.
How about ACHIEVING 101%?
What equals 100% in life?
Here's a little mathematical formula that might help
answer these questions:
If:
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
is represented as:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Then:
H-A-R-D-W-O- R-K
8+1+18+4+23+ 15+18+11 = 98%
And:
K-N-O-W-L-E- D-G-E
11+14+15+23+ 12+5+4+7+ 5 = 96%
But:
A-T-T-I-T-U- D-E
1+20+20+9+20+ 21+4+5 = 100%
And.., look how far the love of God will take you:
L-O-V-E-O-F- G-O-D
12+15+22+5+15+ 6+7+15+4 = 101%
Therefore, one can conclude with mathematical certainty that:
While Hard Work and Knowledge will get you close, and Attitude will
get you there, It's the Love of God that will put you over the top!
It's up to you if you'll share this with your friends & loved ones just
as I did.
Have a nice day & God bless !!
From a strictly mathematical viewpoint:
What Equals 100%?
What does it mean to give MORE than 100%?
Ever wonder about those people who say they are giving more than 100%?
We have all been in situations where someone wants you to
GIVE OVER 100%.
How about ACHIEVING 101%?
What equals 100% in life?
Here's a little mathematical formula that might help
answer these questions:
If:
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
is represented as:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Then:
H-A-R-D-W-O- R-K
8+1+18+4+23+ 15+18+11 = 98%
And:
K-N-O-W-L-E- D-G-E
11+14+15+23+ 12+5+4+7+ 5 = 96%
But:
A-T-T-I-T-U- D-E
1+20+20+9+20+ 21+4+5 = 100%
And.., look how far the love of God will take you:
L-O-V-E-O-F- G-O-D
12+15+22+5+15+ 6+7+15+4 = 101%
Therefore, one can conclude with mathematical certainty that:
While Hard Work and Knowledge will get you close, and Attitude will
get you there, It's the Love of God that will put you over the top!
It's up to you if you'll share this with your friends & loved ones just
as I did.
Have a nice day & God bless !!
10 Maret 2009
The Phrases Of Trigonometry
Life is sin 90 = 1 [Only Once]
Love is cos 90 = 0 [Blind]
But,
Friendship is tan 90 = infinity [never end]
Thanks to Fr Wasan yang telah mengirim sms inspiratif itu pada suatu malam
Love is cos 90 = 0 [Blind]
But,
Friendship is tan 90 = infinity [never end]
Thanks to Fr Wasan yang telah mengirim sms inspiratif itu pada suatu malam
13 Februari 2009
Praksis Pendidikan Serba Bertanya
Ini masih ada kaitannya dengan pembelajaran berbasis kelompok. Dalam dinamika pembelajaran berbasis kelompok, ada salah satu kelompok yang mengusulkan agar setiap kelompok menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam diskusi kelompok 5 menit sebelum proses pembelajaran selesai. Saya segera mengapresiasi positif usul tersebut dan menerapkannya dalam dinamika pembelajaran selanjutnya. Dan sungguh luar biasa, ada banyak pertanyaan yang menarik dan menggelitik yang membuat kami semua harus berpikir. Biasanya pada pertemuan berikutnya saya membacakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kelompok pada awal kelas matematika. Saya memberi kesempatan kepada siswa untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di luar dugaan, banyak siswa yang terlibat dan menanggapi. Bagian saya hanya memberi penegasan-penegasan atas jawaban-jawaban para siswa dan memberi penjelasan seperlunya, jika tidak ada siswa yang memberi tanggapan atas pertanyaan tertentu. Pun saya menyarankan referensi tertentu untuk dibaca para siswa sebagai rujukan. Sungguh menyenangkan bukan? Dari proses ini saya sendiri juga mendapatkan banyak hal baru dari para siswa. Setidaknya proses ini memaksa saya untuk berpikir terus menerus dan selalu belajar. Ah... inilah nikmatnya menjadi guru....
Ini beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para siswa dalam pembelajaran Logika Matematika:
Apakah itu bilangan komposit?
Agung adalah siswa yang tampan. Deklaratif benar atau salah? Bukankah tampan itu relatif? Bagaimana menentukan nilai kebenarannya?
Bisa nggak kalimat perintah atau tanya diubah menjadi pernyataan?
Negasi dinegasikan kembali maksudnya bagaimana?
Dan masih banyak lagi pertanyaan lain dan menghangatkan kelas matematika kami.
Ya, kami memang sedang belajar di kelas matematika.
Pendidikan Serba Bertanya
Oleh : HJ. Sriyanto
Diam seribu bahasa. Itulah yang kerapkali terjadi di ruang-ruang kelas di sebagian besar sekolah di negeri ini, setiapkali guru mengajukan pertanyaan ataupun memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Semua mulut malah seolah terkunci rapat, dengan tatapan mata melompong kosong. Sebaliknya, kelas menjadi ramai-riuh, bisik sana-sini ketika guru menjelaskan, dan semakin ramai-riuh ketika tidak ada guru di kelas. Realitas demikian memang sungguh terjadi dibalik tembok-tembok kelas.
Mengapa budaya bertanya, apalagi mempertanyakan belum tumbuh dalam dinamika pendidikan kita? Padahal lewat pertanyaanlah cakrawala pikiran dapat terbuka dan kesadaranpun akan tetap terjaga. Banyak penemuan baru yang gemilang, bermula dari sebuah pertanyaan. Dengan pertanyaan manusia bisa membuka rahasia dunia. Seorang Albert Einstein yang begitu genial, bahkan sampai matinya toh masih bertanya dan bertanya. Dan masih ada banyak pertanyaan yang belum sanggup dijawabnya, pun hingga saat sekarang oleh para ahli di seluruh dunia. Namun hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab manusia yang mampu menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci penjawabannya.(Impian dari Yogyakarta hal. 71).
Masih asingnya kebiasaan bertanya dalam dinamika pendidikan, tidak lepas dari budaya yang hidup dalam masyarakat kita. Dalam masyarakat kita, sebuah pertanyaan seringkali menjadi tabu untuk dilontarkan. Lebih baik diam, daripada muncul pertentangan-konflik sebab adanya suatu pertanyaan. Meskipun sebenarnya berbagai pertanyaan bertalu-talu, menggedor-gedor kepala ingin minta keluar. Sikap yang cenderung diam menerima, di satu sisi telah membungkam sikap kritis masyarakat kita. Pun dikotomi tua-muda dalam masyarakat kita, dimana yang muda harus memiliki sikap hormat terhadap yang tua (sementara yang tua boleh sesukanya?), telah menempatkan yang tua dan yang muda dalam level yang berbeda, dalam derajat yang berbeda untuk banyak hal. Jelas kondisi demikian menutup ruang diskusi, karena diskusi tercipta hanya mengandaikan jika semua yang terlibat dalam diskusi berada dalam kedudukan sama-setara, yang satu tidak merasa lebih tinggi, lebih pandai, lebih tahu dari yang lain. Ketika ada yang muda bertanya, mendebat atau mempertanyakan pada yang tua, hal itu acapkali dianggap sebagai ‘kekurangajaran’, ketidaksopanan, tidak menghormati atau tidak menghargai.
Dan karena anak-anak murid tumbuh dalam budaya masyarakat demikian, maka wajar jika mereka tidak terbiasa untuk bertanya, malu dan takut untuk bertanya. Munculnya perasaan malu dan takut untuk bertanya tersebut juga dipicu oleh budaya pendidikan kita yang belum mampu mendorong siswa untuk bertanya dan mempertanyakan. Sejak TK hingga sekolah menengah, mereka terbiasa duduk bersedeku-mendengarkan guru berceramah. Kalau bertanya akan dianggap bodoh, dan ditertawakan oleh seluruh kelas. Sikap kritis mereka telah ditumpulkan oleh sistem persekolahan yang kaku dan tidak inspiratif, sebuah sistem yang tidak merangsang daya pikir dan imajinasi peserta didik. Tapi sebaliknya, sistem itu malah menggerogoti rasa kepercayaan diri, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang minder, dan tidak memiliki kemandirian berpikir.
Lebih parah lagi, seringkali murid tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Karena tidak adanya kebiasaan bertanya sampai-sampai murid tidak bisa merumuskan pertanyaan, bahkan pertanyaan yang paling sederhana sekalipun. Selain itu, seringkali pula sebenarnya guru sendiri juga tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh memberi kesempatan kepada murid untuk bertanya. Hal itu dapat dilihat dari sedikitnya waktu yang digunakan untuk tanya jawab dibanding untuk menerangkan dalam proses pembelajaran. Memberikan kesempatan bertanya acapkali hanya dilakukan sekedar sebagai formalitas belaka. Biar model pembelajarannya tidak dianggap terlalu konservatif atau konvensional. Kesadaran guru untuk menjadikan proses pembelajaran sebagai ruang eksplorasi bersama, dengan memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk bertanya dan mempertanyakan juga masih rendah.
Upaya terus-menerus untuk menumbuhkan budaya bertanya dan mempertanyakan dalam dinamika pendidikan kita menjadi penting. Para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka, untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan budaya bertanya adalah dengan mengubah model pembelajaran di kelas. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru, yang ditandai dengan dominasi guru dalam proses pembelajaran, dimana guru lebih banyak menerangkan, harus diubah ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Proses pembelajaran yang memberi kesempatan dan ruang yang lebih besar bagi siswa untuk bereksplorasi. Dengan eksplorasi siswa akan lebih banyak menemukan, dan juga menguji pemahamannya sendiri dengan terus-menerus mempertanyakan konsep yang dipelajarinya. Pancingan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai realitas keseharian yang berkait dengan materi ajar, akan merangsang siswa untuk menemukan jawaban sebagai pemecahan masalah atas realitas tersebut. Dalam proses menemukan penyelesaian masalah itulah, akan muncul banyak pertanyaan berkait dengan konsep yang dipelajari siswa.
Hal tersebut juga akan mendorong siswa untuk berdiskusi dengan siswa lain. Ada keyakinan jika di kelas sudah tercipta iklim diskusi diantara para siswa, maka akan muncul banyak pertanyaan yang menggugah mereka untuk bergelut lebih mendalam dengan materi pelajaran. Sehingga mereka pun akan dapat lebih banyak menguasai konsep, dibanding jika sekedar diterangkan guru. Pemahaman tentang konsep itupun juga akan bertahan relatif lebih lama.
Model pembelajaran tutorial sebaya, kiranya juga bisa menjadi salah satu alternatif model pembelajaran untuk merangsang para siswa bertanya dan mempertanyakan. Asumsi dari model pembelajaran ini adalah bahwa siswa lebih terbuka dan lebih bisa mengungkapkan dirinya, baik kegembiraan, kegelisahan maupun kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya kepada teman-teman yang sebaya daripada kepada orang yang lebih dewasa (orangtua atau guru). Demikian juga dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih bisa mengungkapkan kesulitan dan permasalahan yang dialami kepada temannya daripada kepada gurunya. Siswa akan lebih terbuka, tidak canggung dan tidak takut untuk bertanya kepada temannya maupun mempertanyakan pendapat temannya. Siswa juga lebih merasa dipahami dan dimengerti oleh temannya dibandingkan oleh gurunya. Dengan model pembelajaran demikian, siswa yang telah menguasai konsep bisa menjadi tutor bagi siswa-siswa lain yang belum menguasainya. Sementara peran guru lebih pada memfasilitasi proses pembelajaran, sebagai pengamat proses, sekaligus tempat rujukan bagi siswa. Guru hadir setiap kali kelompok membutuhkannya sebagai teman berdiskusi, tempat rujukan atau untuk memberikan peneguhan dan penegasan atas pemahaman siswa.
Pendidikan serba bertanya menjadi kontekstual untuk kondisi pendidikan kita saat sekarang. Pendidikan yang mendorong siswa untuk selalu bertanya dan mempertanyakan akan membantu siswa untuk mengembangkan sikap kritis, membangun kepercayaan diri pada para siswa, menumbuhkan sikap menghargai orang lain dan diharapkan nantinya juga akan dapat membantu siswa untuk memiliki sikap kemandirian berpikir. Apabila kita bisa menghadirkan pendidikan serba bertanya ini dalam dinamika proses pendidikan, maka kita boleh berharap di masa mendatang kualitas pendidikan di negeri ini akan menjadi lebih baik. Semoga@
Diam seribu bahasa. Itulah yang kerapkali terjadi di ruang-ruang kelas di sebagian besar sekolah di negeri ini, setiapkali guru mengajukan pertanyaan ataupun memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Semua mulut malah seolah terkunci rapat, dengan tatapan mata melompong kosong. Sebaliknya, kelas menjadi ramai-riuh, bisik sana-sini ketika guru menjelaskan, dan semakin ramai-riuh ketika tidak ada guru di kelas. Realitas demikian memang sungguh terjadi dibalik tembok-tembok kelas.
Mengapa budaya bertanya, apalagi mempertanyakan belum tumbuh dalam dinamika pendidikan kita? Padahal lewat pertanyaanlah cakrawala pikiran dapat terbuka dan kesadaranpun akan tetap terjaga. Banyak penemuan baru yang gemilang, bermula dari sebuah pertanyaan. Dengan pertanyaan manusia bisa membuka rahasia dunia. Seorang Albert Einstein yang begitu genial, bahkan sampai matinya toh masih bertanya dan bertanya. Dan masih ada banyak pertanyaan yang belum sanggup dijawabnya, pun hingga saat sekarang oleh para ahli di seluruh dunia. Namun hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab manusia yang mampu menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci penjawabannya.(Impian dari Yogyakarta hal. 71).
Masih asingnya kebiasaan bertanya dalam dinamika pendidikan, tidak lepas dari budaya yang hidup dalam masyarakat kita. Dalam masyarakat kita, sebuah pertanyaan seringkali menjadi tabu untuk dilontarkan. Lebih baik diam, daripada muncul pertentangan-konflik sebab adanya suatu pertanyaan. Meskipun sebenarnya berbagai pertanyaan bertalu-talu, menggedor-gedor kepala ingin minta keluar. Sikap yang cenderung diam menerima, di satu sisi telah membungkam sikap kritis masyarakat kita. Pun dikotomi tua-muda dalam masyarakat kita, dimana yang muda harus memiliki sikap hormat terhadap yang tua (sementara yang tua boleh sesukanya?), telah menempatkan yang tua dan yang muda dalam level yang berbeda, dalam derajat yang berbeda untuk banyak hal. Jelas kondisi demikian menutup ruang diskusi, karena diskusi tercipta hanya mengandaikan jika semua yang terlibat dalam diskusi berada dalam kedudukan sama-setara, yang satu tidak merasa lebih tinggi, lebih pandai, lebih tahu dari yang lain. Ketika ada yang muda bertanya, mendebat atau mempertanyakan pada yang tua, hal itu acapkali dianggap sebagai ‘kekurangajaran’, ketidaksopanan, tidak menghormati atau tidak menghargai.
Dan karena anak-anak murid tumbuh dalam budaya masyarakat demikian, maka wajar jika mereka tidak terbiasa untuk bertanya, malu dan takut untuk bertanya. Munculnya perasaan malu dan takut untuk bertanya tersebut juga dipicu oleh budaya pendidikan kita yang belum mampu mendorong siswa untuk bertanya dan mempertanyakan. Sejak TK hingga sekolah menengah, mereka terbiasa duduk bersedeku-mendengarkan guru berceramah. Kalau bertanya akan dianggap bodoh, dan ditertawakan oleh seluruh kelas. Sikap kritis mereka telah ditumpulkan oleh sistem persekolahan yang kaku dan tidak inspiratif, sebuah sistem yang tidak merangsang daya pikir dan imajinasi peserta didik. Tapi sebaliknya, sistem itu malah menggerogoti rasa kepercayaan diri, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang minder, dan tidak memiliki kemandirian berpikir.
Lebih parah lagi, seringkali murid tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Karena tidak adanya kebiasaan bertanya sampai-sampai murid tidak bisa merumuskan pertanyaan, bahkan pertanyaan yang paling sederhana sekalipun. Selain itu, seringkali pula sebenarnya guru sendiri juga tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh memberi kesempatan kepada murid untuk bertanya. Hal itu dapat dilihat dari sedikitnya waktu yang digunakan untuk tanya jawab dibanding untuk menerangkan dalam proses pembelajaran. Memberikan kesempatan bertanya acapkali hanya dilakukan sekedar sebagai formalitas belaka. Biar model pembelajarannya tidak dianggap terlalu konservatif atau konvensional. Kesadaran guru untuk menjadikan proses pembelajaran sebagai ruang eksplorasi bersama, dengan memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk bertanya dan mempertanyakan juga masih rendah.
Upaya terus-menerus untuk menumbuhkan budaya bertanya dan mempertanyakan dalam dinamika pendidikan kita menjadi penting. Para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka, untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan budaya bertanya adalah dengan mengubah model pembelajaran di kelas. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru, yang ditandai dengan dominasi guru dalam proses pembelajaran, dimana guru lebih banyak menerangkan, harus diubah ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Proses pembelajaran yang memberi kesempatan dan ruang yang lebih besar bagi siswa untuk bereksplorasi. Dengan eksplorasi siswa akan lebih banyak menemukan, dan juga menguji pemahamannya sendiri dengan terus-menerus mempertanyakan konsep yang dipelajarinya. Pancingan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai realitas keseharian yang berkait dengan materi ajar, akan merangsang siswa untuk menemukan jawaban sebagai pemecahan masalah atas realitas tersebut. Dalam proses menemukan penyelesaian masalah itulah, akan muncul banyak pertanyaan berkait dengan konsep yang dipelajari siswa.
Hal tersebut juga akan mendorong siswa untuk berdiskusi dengan siswa lain. Ada keyakinan jika di kelas sudah tercipta iklim diskusi diantara para siswa, maka akan muncul banyak pertanyaan yang menggugah mereka untuk bergelut lebih mendalam dengan materi pelajaran. Sehingga mereka pun akan dapat lebih banyak menguasai konsep, dibanding jika sekedar diterangkan guru. Pemahaman tentang konsep itupun juga akan bertahan relatif lebih lama.
Model pembelajaran tutorial sebaya, kiranya juga bisa menjadi salah satu alternatif model pembelajaran untuk merangsang para siswa bertanya dan mempertanyakan. Asumsi dari model pembelajaran ini adalah bahwa siswa lebih terbuka dan lebih bisa mengungkapkan dirinya, baik kegembiraan, kegelisahan maupun kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya kepada teman-teman yang sebaya daripada kepada orang yang lebih dewasa (orangtua atau guru). Demikian juga dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih bisa mengungkapkan kesulitan dan permasalahan yang dialami kepada temannya daripada kepada gurunya. Siswa akan lebih terbuka, tidak canggung dan tidak takut untuk bertanya kepada temannya maupun mempertanyakan pendapat temannya. Siswa juga lebih merasa dipahami dan dimengerti oleh temannya dibandingkan oleh gurunya. Dengan model pembelajaran demikian, siswa yang telah menguasai konsep bisa menjadi tutor bagi siswa-siswa lain yang belum menguasainya. Sementara peran guru lebih pada memfasilitasi proses pembelajaran, sebagai pengamat proses, sekaligus tempat rujukan bagi siswa. Guru hadir setiap kali kelompok membutuhkannya sebagai teman berdiskusi, tempat rujukan atau untuk memberikan peneguhan dan penegasan atas pemahaman siswa.
Pendidikan serba bertanya menjadi kontekstual untuk kondisi pendidikan kita saat sekarang. Pendidikan yang mendorong siswa untuk selalu bertanya dan mempertanyakan akan membantu siswa untuk mengembangkan sikap kritis, membangun kepercayaan diri pada para siswa, menumbuhkan sikap menghargai orang lain dan diharapkan nantinya juga akan dapat membantu siswa untuk memiliki sikap kemandirian berpikir. Apabila kita bisa menghadirkan pendidikan serba bertanya ini dalam dinamika proses pendidikan, maka kita boleh berharap di masa mendatang kualitas pendidikan di negeri ini akan menjadi lebih baik. Semoga@
10 Februari 2009
Pembelajaran Matematika Berbasis Kelompok
Adalah salah satu proyek saya dalam mengembangkan model pembelajaran matematika yang mendorong siswa untuk terlibat secara penuh dalam proses belajar matematika baik di dalam maupun di luar kelas. Model pembelajaran yang mendorong siswa untuk menguasai materi pembelajaran secara menyeluruh dan utuh.
Nah, berikut ini tanggapan para siswa dengan model pembelajaran matematika berbasis kelompok yang saya kembangkan di sekolah.
Haryo X-6/19
Menurutku sistem belajar kelompok ini lebih pas dibanding penjelasan, karena kita bisa langsung aktif berdiskusi. Hanya masalahnya sampai seberapa keseriusan kita?
Kevin X-6/22
Menurutku belajar dalam kelompok lebih menyenangkan. Hasil ulangan sudah cukup naik dibanding hasil pada semester I. Ini bisa dilihat dari nilai siswa di kelas.
Thomas X-6/30
Menurut saya kelompok sudah cukup aktif. Namun sayang ketika tes kemarin saya kurang konsentrasi, sehingga hasilnya kurang memuaskan. Seharusnya saya mampu meraih nilai lebih.
Widy X-6/04
Nilai ulanganku kemarin 60, hal ini dikarenakan aku kurang aktif di dalam kelompok. Untuk ke depan aku akan lebih aktif lagi di dalam kelompok.
Antonius Dian Tresno X-6/06
Menurut saya proses pembelajaran yang terjadi dalam kelompok sangat efektif bagi saya, karena segala kebingungan saya dapat terpecahkan dalam kelompok.
Leonardus Wisnumurti X-6/25
Menurut saya proses pembelajaran dalam kelompok ini sangat membantu, ketika saya lupa akan materi yang dibahas. Disini terjalin relasi kerjasama. Juga didalam kelompok ini saya belajar untuk melihat di bagian mana kami lemah dalam materi. Menurutku juga ada korelasi antara proses dikelompok dengan hasil tes. Kalau proses di kelompok baik, hasil tesnya juga akan baik.
Albert M Wayan X-6/ 03
Menurut saya proses belajar kelompok saat ini sangat membantu sekali, karena dengan belajar kelompok ini saya bisa mendiskusikan soal yang sulit untuk dikerjakan. Tetapi dari hasil tes kemarin aku sadar kalau di rumah aku kurang latihan, sehingga lupa apa yang dipelajari.
Khrisna Widya Gunawan X-6/23
Saya merasa kegiatan belajar kelompok dalam matematika ini memotivasi saya untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Joyo lebih dari bekerja sendirian. Proses pembelajaran kelompok ini juga membuat semakin akrab hubungan antar murid. Dan bila ada soal yang sulit dapat dipecahkan bersama kelompok dan mudah bertanya antar anggota kelompok.
Kelompok Albert Christian, Andre Ian, Killan P, Raymund (X-6/2,5,24,27)
Proses kerja kelompok kami tergolong cukup sukses, karena semua anggota kelompok tuntas dalam tes kemarin. Nilai terendah 66. Kedepannya, kelompok kami akan mengerjakan latihan dengan lebih serius dan membantu anggota kelompok yang kesulitan. Secara pribadi kami akan belajar lebih giat, tidak hanya di sekolah tapi juga diluar sekolah agar lebih maksimal.
Debe X-6/01
Nilai tes yang kemarin aku dapat jelek. Sebenarnya dalam kerja kelompok saya bisa, tetapi kemarin menjadi “blank” semua, jadi tidak maksimal.
Saya akan terus bekerja keras dalam latihan dan tugas, agar dalam tes tidak “blank”.
Dalam belajar kelompok dalam pelajaran matematika sebenarnya saya lebih mudah mengerti dari pada saat pelajaran biasa tanpa kerja kelompok. Dalam tes kemarin saya mendapat nilai jelek karena saya baru mengerjakan sampai dengan latihan dua, karena saya mau mencoba mengerjakan soal satu demi satu dan berusaha mengerjakan sendiri. Dengan mendapat nilai jelek, saya mendapat pengalaman kalau mau mendapat nilai bagus harus belajar dengan serius.
Nino X-6/21
Saya belum merasa bangga atas hasil yang saya peroleh karena proses yang saya lakukan belum maksimal. Selain itu sebagai ketua kelompok saya bisa dibilang gagal karena anggota-anggota saya saya nilainya kurang dari 60, padahal saat latihan mereka dapat mengerjakan soal dengan baik. Saya akan berusaha lebih keras agar semua tuntas.
Dalam kelompok saya akan coba untuk bekerja secara lebih maksimal dan lebih bekerjasama dengan anggota lain supaya semua tuntas.
Galang X-6/15
Menurutku belajar dalam kelompok lebih baik daripada kami belajar sendiri. Karena didalam kelompok kami bisa bertukar pikiran. Selain itu saya bisa menjadi lebih baik.
Pika X-6/29
Menurutku belajar dalam kelompok mampu menumbuhkan persaingan sehat. Karena misalnya salah satu anggota kelompok memiliki nilai bagus, pastilah anggota lain juga ingin memilikinya dan ia akan berusaha.
Trias X-6/32
Menurutku belajar dalam kelompok lebih membantu aku dan teman-teman. Kami bisa lebih memahami kekurangan dalam kelompok dan memperbaiki bersama.
Alvin/07
Menurutku belajar kelompok lebih efektif, bisa saling belajar dan mengajari satu dengan yang lain. Tapi terkadang kita tidak fokus dalam pelajaran, tapi malah “jagongan dhewe”
David X-6/12
Proses pembelajaran kelompok menurut saya cukup membantu dn membuat saya lebih mudah mengerti dalam belajar bersama. Saya juga bisa bertanya pada teman sekelompok kalau ada soal yang tidak saya mengerti. Kerja kelompok ini sesuai karena menurut saya jadi lebih mengasyikkan dan mudah dimengerti.
Bennydiktus Agung X-6/11
Proses belajar kelompok menurut saya sebenarnya lebih mudah memahaminya. Tetapi saya medapatkan nilai kurang karena kurangnya saya berlatih di rumah, sehingga konsep yang sudah mulai saya pahami menjadi tidak berguna karena kurangnya saya berlatih di rumah. Jadi menurut saya, belajar dalam kelompok cenerung lebih mengasyikkan dan mudah memahami konsep.
Sande Vico X-6/10
Menurut saya proses belajar dalam kelompok saya sudah bagus, hanya kami belajar matematika di sekolah saja. Kami jarang belajar dan melanjutkan belajar matematika di rumah. Dengan belajar di dalam kelompok teman yang belum bisa menjadi bisa dengan usaha yang ditunjukannya. Belajar kelompok ini cukup efektif, mesti masih banyak yang ngobrol. Saya cukup puas dengan nilai saya meskipun saya belum belajar dan mengerjakan soal sendiri dengan optimal. Walau saya tidak lihai dalam matematika, tapi saya cukup senang dengan matematika, karena matematika penuh variasi, penuh tantangan dan dituntut kreatif dalam berpikir.
Benedictus H X-6/09
Proses belajar kelompok bisa mengembangkan kemampuanku walaupun sedikit demi sedikit. Ini dapat dilihat dari nilai semester I yang jauh dari tuntas sekarang mendekati nilai tuntas dan diusahakan untuk tuntas di penilaian berikutnya.
Emmanuel Radity Pratama X-6/14
Dengan kerja kelompok ini saya merasa terbantu dan termotivasi untuk belajar matematika. Agar lebih baik lagi saya akan lebih serius dan pantang menyerah dalam menyelesaikan soal matematika.
Florencius Steven Santoso P X-6/16
Kerja kelompok ini lebih memudahkan untuk belajar karena dalam beberapa orang dapat menyelesaikan satu soal dengan berbagai cara.
Secara umum beberapa core values yang dapat dipetik dari proses ini adalah:
[Menumbuhkan rasa percaya diri dan memotivasi siswa dalam belajar matematika]
[Membuka paradigma baru tentang pembelajaran matematika]
[Menumbuhkan sikap kompetitif antar siswa]
[Perubahan Sikap dan minat terhadap matematika]
[Menumbuhkan Empati terhadap orang lain]
Prosesnya bagaimana dan seperti apa?
Tunggu di edisi berikutnya...
Nah, berikut ini tanggapan para siswa dengan model pembelajaran matematika berbasis kelompok yang saya kembangkan di sekolah.
Haryo X-6/19
Menurutku sistem belajar kelompok ini lebih pas dibanding penjelasan, karena kita bisa langsung aktif berdiskusi. Hanya masalahnya sampai seberapa keseriusan kita?
Kevin X-6/22
Menurutku belajar dalam kelompok lebih menyenangkan. Hasil ulangan sudah cukup naik dibanding hasil pada semester I. Ini bisa dilihat dari nilai siswa di kelas.
Thomas X-6/30
Menurut saya kelompok sudah cukup aktif. Namun sayang ketika tes kemarin saya kurang konsentrasi, sehingga hasilnya kurang memuaskan. Seharusnya saya mampu meraih nilai lebih.
Widy X-6/04
Nilai ulanganku kemarin 60, hal ini dikarenakan aku kurang aktif di dalam kelompok. Untuk ke depan aku akan lebih aktif lagi di dalam kelompok.
Antonius Dian Tresno X-6/06
Menurut saya proses pembelajaran yang terjadi dalam kelompok sangat efektif bagi saya, karena segala kebingungan saya dapat terpecahkan dalam kelompok.
Leonardus Wisnumurti X-6/25
Menurut saya proses pembelajaran dalam kelompok ini sangat membantu, ketika saya lupa akan materi yang dibahas. Disini terjalin relasi kerjasama. Juga didalam kelompok ini saya belajar untuk melihat di bagian mana kami lemah dalam materi. Menurutku juga ada korelasi antara proses dikelompok dengan hasil tes. Kalau proses di kelompok baik, hasil tesnya juga akan baik.
Albert M Wayan X-6/ 03
Menurut saya proses belajar kelompok saat ini sangat membantu sekali, karena dengan belajar kelompok ini saya bisa mendiskusikan soal yang sulit untuk dikerjakan. Tetapi dari hasil tes kemarin aku sadar kalau di rumah aku kurang latihan, sehingga lupa apa yang dipelajari.
Khrisna Widya Gunawan X-6/23
Saya merasa kegiatan belajar kelompok dalam matematika ini memotivasi saya untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Joyo lebih dari bekerja sendirian. Proses pembelajaran kelompok ini juga membuat semakin akrab hubungan antar murid. Dan bila ada soal yang sulit dapat dipecahkan bersama kelompok dan mudah bertanya antar anggota kelompok.
Kelompok Albert Christian, Andre Ian, Killan P, Raymund (X-6/2,5,24,27)
Proses kerja kelompok kami tergolong cukup sukses, karena semua anggota kelompok tuntas dalam tes kemarin. Nilai terendah 66. Kedepannya, kelompok kami akan mengerjakan latihan dengan lebih serius dan membantu anggota kelompok yang kesulitan. Secara pribadi kami akan belajar lebih giat, tidak hanya di sekolah tapi juga diluar sekolah agar lebih maksimal.
Debe X-6/01
Nilai tes yang kemarin aku dapat jelek. Sebenarnya dalam kerja kelompok saya bisa, tetapi kemarin menjadi “blank” semua, jadi tidak maksimal.
Saya akan terus bekerja keras dalam latihan dan tugas, agar dalam tes tidak “blank”.
Dalam belajar kelompok dalam pelajaran matematika sebenarnya saya lebih mudah mengerti dari pada saat pelajaran biasa tanpa kerja kelompok. Dalam tes kemarin saya mendapat nilai jelek karena saya baru mengerjakan sampai dengan latihan dua, karena saya mau mencoba mengerjakan soal satu demi satu dan berusaha mengerjakan sendiri. Dengan mendapat nilai jelek, saya mendapat pengalaman kalau mau mendapat nilai bagus harus belajar dengan serius.
Nino X-6/21
Saya belum merasa bangga atas hasil yang saya peroleh karena proses yang saya lakukan belum maksimal. Selain itu sebagai ketua kelompok saya bisa dibilang gagal karena anggota-anggota saya saya nilainya kurang dari 60, padahal saat latihan mereka dapat mengerjakan soal dengan baik. Saya akan berusaha lebih keras agar semua tuntas.
Dalam kelompok saya akan coba untuk bekerja secara lebih maksimal dan lebih bekerjasama dengan anggota lain supaya semua tuntas.
Galang X-6/15
Menurutku belajar dalam kelompok lebih baik daripada kami belajar sendiri. Karena didalam kelompok kami bisa bertukar pikiran. Selain itu saya bisa menjadi lebih baik.
Pika X-6/29
Menurutku belajar dalam kelompok mampu menumbuhkan persaingan sehat. Karena misalnya salah satu anggota kelompok memiliki nilai bagus, pastilah anggota lain juga ingin memilikinya dan ia akan berusaha.
Trias X-6/32
Menurutku belajar dalam kelompok lebih membantu aku dan teman-teman. Kami bisa lebih memahami kekurangan dalam kelompok dan memperbaiki bersama.
Alvin/07
Menurutku belajar kelompok lebih efektif, bisa saling belajar dan mengajari satu dengan yang lain. Tapi terkadang kita tidak fokus dalam pelajaran, tapi malah “jagongan dhewe”
David X-6/12
Proses pembelajaran kelompok menurut saya cukup membantu dn membuat saya lebih mudah mengerti dalam belajar bersama. Saya juga bisa bertanya pada teman sekelompok kalau ada soal yang tidak saya mengerti. Kerja kelompok ini sesuai karena menurut saya jadi lebih mengasyikkan dan mudah dimengerti.
Bennydiktus Agung X-6/11
Proses belajar kelompok menurut saya sebenarnya lebih mudah memahaminya. Tetapi saya medapatkan nilai kurang karena kurangnya saya berlatih di rumah, sehingga konsep yang sudah mulai saya pahami menjadi tidak berguna karena kurangnya saya berlatih di rumah. Jadi menurut saya, belajar dalam kelompok cenerung lebih mengasyikkan dan mudah memahami konsep.
Sande Vico X-6/10
Menurut saya proses belajar dalam kelompok saya sudah bagus, hanya kami belajar matematika di sekolah saja. Kami jarang belajar dan melanjutkan belajar matematika di rumah. Dengan belajar di dalam kelompok teman yang belum bisa menjadi bisa dengan usaha yang ditunjukannya. Belajar kelompok ini cukup efektif, mesti masih banyak yang ngobrol. Saya cukup puas dengan nilai saya meskipun saya belum belajar dan mengerjakan soal sendiri dengan optimal. Walau saya tidak lihai dalam matematika, tapi saya cukup senang dengan matematika, karena matematika penuh variasi, penuh tantangan dan dituntut kreatif dalam berpikir.
Benedictus H X-6/09
Proses belajar kelompok bisa mengembangkan kemampuanku walaupun sedikit demi sedikit. Ini dapat dilihat dari nilai semester I yang jauh dari tuntas sekarang mendekati nilai tuntas dan diusahakan untuk tuntas di penilaian berikutnya.
Emmanuel Radity Pratama X-6/14
Dengan kerja kelompok ini saya merasa terbantu dan termotivasi untuk belajar matematika. Agar lebih baik lagi saya akan lebih serius dan pantang menyerah dalam menyelesaikan soal matematika.
Florencius Steven Santoso P X-6/16
Kerja kelompok ini lebih memudahkan untuk belajar karena dalam beberapa orang dapat menyelesaikan satu soal dengan berbagai cara.
Secara umum beberapa core values yang dapat dipetik dari proses ini adalah:
[Menumbuhkan rasa percaya diri dan memotivasi siswa dalam belajar matematika]
[Membuka paradigma baru tentang pembelajaran matematika]
[Menumbuhkan sikap kompetitif antar siswa]
[Perubahan Sikap dan minat terhadap matematika]
[Menumbuhkan Empati terhadap orang lain]
Prosesnya bagaimana dan seperti apa?
Tunggu di edisi berikutnya...
27 Januari 2009
Soal Minggu Ini 270109
23 Januari 2009
Jangan salah 1 ons bukan 100 gram
Sudah cukup lama sebenarnya saya mendapatkan email ini, tapi tidak segera saya buka. Ketika saya membukanya, ternyata ada hal yang sangat menarik dan sungguh mengejutkan!
Ini emailnya....
Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal. Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg dan 1 ounce (ons) = 100 gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah.
Sebelum PHK dijatuhkan, teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dengan cara menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100 g. Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce)adalah satuan berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan. SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN. Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini kepada lembaga yang paling berwenang atas system takar-timbang dan ukur di Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi.
Ternyata, pihak Dir. Metrologi pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram. Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia.Untuk ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan *Ons bukanlah bagian dari sistem metrik* ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan "ons" dan "pound".
Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, ternyata *tidak pernah ada acuan system takar-timbang legal* atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional, *tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus **Indonesia **. Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun. Sampai kapan mau dipertahankan?
BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI?
Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata, kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena akan menyesatkan. Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari.
"Racun" ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini. Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia mengajarkan seperti itu.Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberikan petunjuk resmi. TANGGUNG JAWAB SIAPA? Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan kita jangan lepas tangan.
Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini,salah satu alasannya agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka; "acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui/diberlakukan secara internasional, yang menyatakan bahwa: "1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram"? Kalau Dep.Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang?
Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, di negara mana saja selain Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram? Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini? Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan *ons yang keliru* ini, sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang pemakaian satuan "ons" dalam transaksi legal, maka konsekwensinya ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas). Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum diajarkan kepada anak-anak.
Perlukah adanya system timbangan Indonesia yang konversinya adalah 1 ons "Depdiknas" = 100 gram Dan 1 pound "Depdiknas" = 500 gram.? Bagaimana "Ons dan Pound "Depdiknas" ini dimasukkan dalam sistem metric yang sudah baku diseluruh dunia? Siapa yang mau pakai?. HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI. Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar.
Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan
resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana
kesalahannya. Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya
merupakan masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus
segera dihentikan. Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi
diplomatis mengenai hal ini.
Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia .
Berikan teladan kepada bangsa ini untuktidak malu memperbaiki
kesalahan. Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal
Takar-Timbang- Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi
sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling
berwenang diIndonesia. Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Metrologi.
Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita
harus dipersiapkan dengan benar.
Benar dalam arti landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya.
Mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja
sudah merupakan upaya yang sangat berat.Janganlah malah diperberat
dengan *pelajaran sampah* yang justru bakal menyesatkan.
Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti aturan dan standar
yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan hanya yang rekayasa
lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan yang salah.
Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri yang
berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.
Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar
sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh
dengan tantangan berat. ACUAN MANA YANG BENAR? Banyak sekali literatur, khususnya
yang dipakai dalam dunia tehnik, dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford,dll.
*(maaf, ini bukan promosi)* menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak
perlu diragukan lagi. Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi
semacam itu dapat dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian/diary/
agenda yang biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk
sebagai sarana promosi. *Salah satu* konversi untuk satuan berat yang
umum dipakai SAH secara internasional adalah sistem avoirdupois/ avdp.
(baca : averdupoiz).
1 ounce/ons/onza = 28,35 gram *(bukan 100 g.)*
1 pound = 453 gram *(bukan 500 g.)*
1 pound = 16 ounce *(bukan 5 ons)* Bayangkan saja, bagaimana jadinya
kalau seorang apoteker meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi
28 gram, namun diberi 100 gram.
Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malpraktek?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum!!!
Jadi, kalau malpraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan.
(*ini hanya gambaran/ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan,
bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali
terjadi)* KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN - LALU SIAPA ?.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan
pemerintah, akademis, profesi, bisnis/pedagang, sekolah dan orang tua dan
juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan "ons dan pound yang
keliru" dari kegiatan kita sehari-hari.
Pengajaran sistem timbang dgn. satuan Ounce dan Pound seharusnya
diberikan sebagai pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta *rumus
konversi yang benar*. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam
kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan/ menyesatkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.
LEMBAR PELENGKAP TAKAR - UKUR - TIMBANG MENGIKUTI SISTEM
METRIK YANG BERLAKU SEJAK THN *1799*. *Kuantitas* *Satuan* *Simbol*
*Keterangan* Panjang meter m bukan mtr.Luas meter persegi (m2).Isi/volume
meter kubik (m3). Berat gram (g) bukan gr.Takaran liter 1 l = 1000 cm3
(cc.)Suhu/temperatur e derajat Celcius oC
BEBERAPA SEBUTAN / AWALAN UNTUK FAKTOR PENGALI DALAM SISTEM METRIK
AWALAN FAKTOR PENGALI SIMBOL/SINGKATAN
CONTOH PEMAKAIAN
Giga 1.000.000.000 G GHz. Mega 1.000.000 M MW kilo 1.000 k km hecto 100 h ha
deka 10 da dam deci 0,1 d dm centi 0,01 c cm milli 0,001 m ml micro
0,000.001 *m* mF dan seterusnya.
Dalam sistem metrik memang dikenal *1 are = 100 m2* khusus untuk ukuran
tanah yang diakui sah secara internasional.
*Untuk satuan ONS yang mengartikan kelipatan 100 g., apalagi POUND yang
mengartikan kelipatan 500 g.,tidak pernah ada didalam system metrik
maupun non-metrik/imperial yang pernah diberlakukan sah secara
internasional.
19 Januari 2009
Persamaan Linear Dalam Iklan
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari persamaan linear. Apabila kita belanja di pasar dan dari sekumpulan barang belanjaan kita mendapatkan suatu harga tertentu, secara tidak langsung kita bersentuhan dengan persamaan linear. Atau, saat kita sedang menikmati makan siang di sebuah restoran cepat saji, dan di sana ditawarkan beberapa paket makanan yang merupakan kombinasi dari beberapa jenis makanan. Setiap paket pasti memiliki harga tertentu dan kita tidak tahu berapa harga untuk masing-masing makanan yang menyusun paket makanan tersebut. Sekali lagi, inipun sebenarnya adalah permasalahan persamaan linear.
Kasus yang lain seperti iklan paket hemat cetak brosur full colour di atas. Di iklan tersebut dikatakan dengan Rp750.000,- kita dapat mencetak 2000 lembar brosur A4 cetak 1 muka atau 4000 lembar ½ A4 cetak 1 muka. Jika satu lembar A4 kita misalkan x dan cetak satu muka kita misalkan y, maka kita akan mendapatkan persamaan 750.000 = 2000(x + y) atau 750.000 = 4000 (½x + y)
Contoh-contoh di atas adalah penggunaan persamaan linear dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ada contoh penggunaan sistem persamaan linear dalam bidang lain? Ada. Kamu tentu pernah belajar tentang temperatur. Ada tiga skala yang kita kenal, Cecius, Reamur, dan Fahrenheit. Untuk mendapatkan rumus yang menghubungkan Celcius dengan Fahrenheit, kita tinggal menyatakan temperatur Fahrenheit = m temperatur Celcius + n atau F = mC + n dengan m dan n adalah konstanta. Pada tekanan satu atmosfer titik didih air adalah 212 derajat F atau 100 derajat C dan titik beku air adalah 32derajat F atau 0 derajat C. Dengan memasukkan kedua nilai tersebut ke dalam persamaan F = mC + n maka diperoleh m = 9/5 dan n = 32. Itulah sebabnya kita mendapatkan hubungan F = 9/5C + 32
Kasus yang lain seperti iklan paket hemat cetak brosur full colour di atas. Di iklan tersebut dikatakan dengan Rp750.000,- kita dapat mencetak 2000 lembar brosur A4 cetak 1 muka atau 4000 lembar ½ A4 cetak 1 muka. Jika satu lembar A4 kita misalkan x dan cetak satu muka kita misalkan y, maka kita akan mendapatkan persamaan 750.000 = 2000(x + y) atau 750.000 = 4000 (½x + y)
Contoh-contoh di atas adalah penggunaan persamaan linear dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ada contoh penggunaan sistem persamaan linear dalam bidang lain? Ada. Kamu tentu pernah belajar tentang temperatur. Ada tiga skala yang kita kenal, Cecius, Reamur, dan Fahrenheit. Untuk mendapatkan rumus yang menghubungkan Celcius dengan Fahrenheit, kita tinggal menyatakan temperatur Fahrenheit = m temperatur Celcius + n atau F = mC + n dengan m dan n adalah konstanta. Pada tekanan satu atmosfer titik didih air adalah 212 derajat F atau 100 derajat C dan titik beku air adalah 32derajat F atau 0 derajat C. Dengan memasukkan kedua nilai tersebut ke dalam persamaan F = mC + n maka diperoleh m = 9/5 dan n = 32. Itulah sebabnya kita mendapatkan hubungan F = 9/5C + 32
10 Januari 2009
Penilaian Matematika yang Holistik
Beberapa waktu terakhir, khususnya pada akhir semester 1 yang lalu saya cukup resah dengan model penilaian matematika saya. Beberapa pertanyaan yang mengganggu saya, benarkah cara saya dalam menilai siswa dalam proses pembelajaran matematika? Bagaimana hasil ulangan saja sudah cukup merepresentasikan kemampuan dan prestasi belajar matematika siswa? Jujur saya tidak puas dengan model penilaian yang saya lakukan. So what? Mengubah paradigma tentang penilaian! Penilaian matematika yang holistik - menyeluruh, yang mengukur seluruh aspek kemampuan siswa. Ini artinya penilaian yang berfokus pada proses bukan pada hasil.
Saya mencoba mendorong siswa untuk melakukan dan terlibat dalam proses pembelajaran matematika, tanpa siswa harus berpikir soal nanti nilainya bagaimana, baik atau jelek. Mendorong siswa fokus pada proses dan mengoptimalkan seluruh potensi diri dalam pembelajaran matematika. Saya pikir ini lebih mendayagunakan dan siswa lebih banyak mendapatkan dari pada mesti dibebani target-target nilai yang baik.
Tentu bukan berarti kemudian tidak ada ulangan atau ujian. Ulangan tetap ada sebagai standarisasi penguasaan materi siswa. Namun tidak melulu berfokus pada ulangan saja.
Bagaimana prosesnya? Ini yang sudah saya rumuskan, tentu belum sempurna masih perlu dikritisi dan perlu pembenahan disana-sini.
Penilaian Performance Pembelajaran berbasis kelompok
Aspek Yang dinilai:
• Keterlibatan dalam proses belajar kelompok
• Kemampuan mengungkapkan pendapat
• Kemampuan bekerja sama
• Kepedulian terhadap teman dalam kelompok
• Penguasaan Substansi materi
Dinamika Kegiatan:
1.Buat kelompok yang beragam dalam hal kemampuan, suku, agama dan ras
2.Guru menginformasikan bahan/materi belajar beberapa hari sebelumnya
3.Kelompok berdiskusi tentang bahan/materi yang diberikan dan guru menjadi fasilitator
4.Setelah proses diskusi selesai guru memberikan soal-soal kepada kelompok. Kemudian memilih secara acak wakil kelompok untuk menjawab dan menjelaskan jawaban kaitannya dengan substansi materi yang sedang dipelajari
5.Guru mengadakan tes kecil (post test) untuk masing-masing siswa.
6.Dalam kelompok siswa merefleksikan hasil/prestasi belajar dan seluruh proses yang dialami kemudian merancang rencana aksi tindak lanjut berdasarkan hasil refleksi tersebut.
Penilaian dilakukan oleh:
1.Guru
2.Siswa sendiri
3.Teman dalam kelompok
Rubrik penilaian:
No Nama Siswa Keterlibatan Berpendapat Kerjasama Kepedulian Substansi materi
Saya sedang mencobakan ini....
Senang jika bapak/ibu guru atau para siswa dan pembaca yang lain memberikan tanggapan atau masukan...
Lain waktu saya akan sharing tentang pembelajaran berbasis kelompok yang sudah saya lakukan di kelas matematika saya.
Salam,
HJS
Saya mencoba mendorong siswa untuk melakukan dan terlibat dalam proses pembelajaran matematika, tanpa siswa harus berpikir soal nanti nilainya bagaimana, baik atau jelek. Mendorong siswa fokus pada proses dan mengoptimalkan seluruh potensi diri dalam pembelajaran matematika. Saya pikir ini lebih mendayagunakan dan siswa lebih banyak mendapatkan dari pada mesti dibebani target-target nilai yang baik.
Tentu bukan berarti kemudian tidak ada ulangan atau ujian. Ulangan tetap ada sebagai standarisasi penguasaan materi siswa. Namun tidak melulu berfokus pada ulangan saja.
Bagaimana prosesnya? Ini yang sudah saya rumuskan, tentu belum sempurna masih perlu dikritisi dan perlu pembenahan disana-sini.
Penilaian Performance Pembelajaran berbasis kelompok
Aspek Yang dinilai:
• Keterlibatan dalam proses belajar kelompok
• Kemampuan mengungkapkan pendapat
• Kemampuan bekerja sama
• Kepedulian terhadap teman dalam kelompok
• Penguasaan Substansi materi
Dinamika Kegiatan:
1.Buat kelompok yang beragam dalam hal kemampuan, suku, agama dan ras
2.Guru menginformasikan bahan/materi belajar beberapa hari sebelumnya
3.Kelompok berdiskusi tentang bahan/materi yang diberikan dan guru menjadi fasilitator
4.Setelah proses diskusi selesai guru memberikan soal-soal kepada kelompok. Kemudian memilih secara acak wakil kelompok untuk menjawab dan menjelaskan jawaban kaitannya dengan substansi materi yang sedang dipelajari
5.Guru mengadakan tes kecil (post test) untuk masing-masing siswa.
6.Dalam kelompok siswa merefleksikan hasil/prestasi belajar dan seluruh proses yang dialami kemudian merancang rencana aksi tindak lanjut berdasarkan hasil refleksi tersebut.
Penilaian dilakukan oleh:
1.Guru
2.Siswa sendiri
3.Teman dalam kelompok
Rubrik penilaian:
No Nama Siswa Keterlibatan Berpendapat Kerjasama Kepedulian Substansi materi
Saya sedang mencobakan ini....
Senang jika bapak/ibu guru atau para siswa dan pembaca yang lain memberikan tanggapan atau masukan...
Lain waktu saya akan sharing tentang pembelajaran berbasis kelompok yang sudah saya lakukan di kelas matematika saya.
Salam,
HJS
Langganan:
Postingan (Atom)