24 September 2008
Matematika Dalam Film
A Beautiful Mind demikian judul salah satu film yang cukup mengesankan dan inspiratif. Pernah dengar atau lihat judul film ini? Yapp! Film ini diangkat dari kisah nyata John Forbes Nash, seorang ahli matematika yang memenangkan Hadiah Nobel bidang ekonomi pada tahun 1994. Film yang dibintangi Russell Crowe, Ed Harris, Jennifer Connelly, Christopher Plummer, dan Paul Bettany ini menembus puncak Academy Award 2002 dan menyabet predikat best picture.
Kisah dimulai pada tahun 1947, ketika John Forbes Nash (Russell Crowe) menjadi mahasiswa baru di Princeton University. Nash adalah mahasiswa matematika yang sangat brilian tapi gagap dalam pergaulan sosial. Untunglah ada Charles (Paul Bettany), teman sekamarnya, yang membantu John melewati tahun-tahunnya di bangku kuliah.
Dalam salah satu adegan A Beautiful Mind digambarkan saat Nash bersama teman-temannya mengagumi seorang gadis tercantik di antara sekelompok gadis. Karena ada satu gadis cantik, bisa dipastikan kelompok Nash, kelompok para pria, akan berebutan menggaet sang ratu. Tapi Nash muncul dengan pendapat yang mengejutkan para lelaki di kelompok itu.
Kalau berebutan untuk mendapatkan yang tercantik, maka semua pria akan bertabrakan lalu hancur. Sang ratu pun tak mendapatkan pasangan. Kemungkinan kedua, semua pria itu gagal mendapatkan sang ratu lalu memilih wanita-wanita lain di sekelilingnya. Kelompok pria itu tetap gagal karena para wanita bersama wanita tercantik itu tak mau menjadi pilihan kedua. Satu-satunya solusinya, kata Nash, mengabaikan sang ratu cantik itu. Jika ini yang dilakukan maka semua laki-laki akan mendapatkan wanita di sekeliling wanita tercantik sebagai pasangan masing-masing. Kalau ada lima laki-laki di kelompok pria dan lima gadis lain di kelompok sang ratu cantik itu, maka sepuluh orang sudah beruntung. Hanya satu yang rugi, Si Ratu Cantik.
Bisa jadi inilah sebagian kecil ide awal munculnya game theory yang merupakan cabang ilmu matematika terapan dalam bidang ekonomi dan yang mengantarkan Nash merebut hadiah Nobel. Belakangan, game theory banyak dipakai untuk kepentingan mengatur strategi bisnis bahkan politik.
Setelah menemukan teori ekonomi revolusioner yang membalikkan asumsi Adam Smith, bapak ekonomi modern, Nash kemudian diterima di kelompok peneliti elit dan mengajar di MIT. Ilmu pengetahuan telah membuktikan perannya dalam memenangkan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II lewat penemuan bom atom, dan kini apa yang bisa dilakukan Nash dalam era Perang Dingin?
Nash diminta untuk menjadi pemecah kode rahasia dan bekerja di bawah supervisi William Parcher (Ed Harris). Dia merasa sang Big Brother Parcher, salah satu orang penting di Pentagon itu, mengajaknya bergabung menjadi agen rahasia AS untuk memecahkan kode rahasia intelijen Rusia. Ia patuh saja saat diperintah untuk mencermati judul semua koran setiap hari karena menurut Big Brother, agen Rusia di AS mengirimkan kabar ke “pihak musuh” itu lewat koran. Maka guntingan koran pun berhamburan di ruang kerjanya. Setiap hari Nash memecahkan kode-kode dari judul-judul berita koran itu.
Tapi tentu saja itu tidak sungguh terjadi dalam dunia nyata. Semua itu hanya terjadi di dunia khayalnya. Ya, Nash memang menderita schizofrenia, dimana ia memiliki dunia lain, dunia yang penuh halusinasi. Dan Parcher hanyalah teman khayalnya. Namun repotnya, tanpa sadar dia mengikuti semua kemauan teman khayalnya itu.
Suatu waktu Ketika dia ditahan oleh psikiater saat memberi ceramah di sebuah kampus, dia langsung menuding orang-orang yang hendak menolongnya itu mata-mata Rusia yang akan membunuhnya. Padahal, tak ada Parcher di dunia nyata, tak ada Pentagon dalam sejarah kerja Nash. Ia bukan agen rahasia dengan tugas khusus memecahkan kode dari setiap judul koran. Semua itu hanya khayalannya belaka. Gila! Nash memang benar-benar gila! Lebih gila lagi, sikap aneh Nash di tempat kerjanya dianggap biasa.
John Forbes Nash memang gila dan gilanya lagi dengan segala pergulatan dan perjuangannya, ia mampu menyembuhkan dirinya sendiri dari penyakit ‘gila’ yang diyakini banyak orang tak ada obatnya itu. Dan lebih gila lagi, sebagai jenius matematika ia memiliki a beautiful mind, something yang mengantarkannya ke kursi kehormatan ilmu pengetahuan di jagad raya ini.
Mungkinkah kita juga bisa memiliki a beautiful mind seperti itu? Tentu saja kita tidak harus menjadi gila terlebih dulu untuk memilikinya. A beautiful mind lahir dari kejernihan pikiran. Dan matematika sebenarnya bisa menuntun dan mengantar kita menuju kejernihan itu. Hanya lewat kejernihan itu kita bisa mengurai berbagai persoalan hingga menemukan solusinya.
20 September 2008
Matematika Yang Menyelamatkan Kehidupan
Matematika yang menyelamatkan kehidupan
Apakah kamu kenal dengan Teorema Terakhir Fermat? Tapi pasti tahu dong Teorema Pythagoras? Oke, Teorema Terakhir Fermat itu sebenarnya dikembangkan dari Teorema Pythagoras. Menurut Teorema Pythagoras, ada banyak sekali bilangan bulat x, y, dan z yang memenuhi hubungan x pangkat 2 + y pangkat 2 = z pangkat 2, seperti 3, 4, 5, dan 5, 12, 13, serta 7, 24, 25 dan sebagainya. Nah, Pierre de Fermat (1601 – 1665) mengklaim kalau tidak ada bilangan bulat x, y, dan z yang memenuhi x pangkat n + y pangkat n = z pangkat n, untuk n > 2. Ia pun mengkalim sudah menemukan buktinya. Hanya sayangnya bukti itu tidak pernah didapati dibuku-buku karyanya, sehingga membuat banyak matematikawan yang lain, bahkan matematikawan di abad-abad sesudahnya penasaran dan berusaha membukti-kan teorema Fermat tersebut, tapi tidak ada yang berhasil.
Ingin tahu butuh waktu berapa lama untuk membuktikan teorema Fermat itu? Jangan kaget, butuh 3,5 abad! Ya, butuh waktu 350 tahun untuk membuktikan Teorema Terakhir Fermat tersebut. Nah, cerita berikut berawal dari usaha membuktikan teorema Fermat tersebut pada tahun 1900-an awal.
Di awal tahun 1900-an, Paul Wolfskehl –seorang professor matematika Jerman– telah meluangkan banyak waktu dalam hidupnya untuk membuktikan teorema terakhir fermat, namun tidak berhasil. Rasa frustasi karena tidak juga bisa membuktikan teoremanya Fermat dan ditambah rasa kecewanya karena gagal menjalin cinta dengan perempuan pujaan hatinya, membuat Wolfskehl berniat untuk bunuh diri. Dan karena ia seorang metodis, ia menulis catatan tentang rencana bunuh dirinya yang memuat tanggal dan detail jamnya.
Beberapa saat menjelang waktu yang telah ditentukan untuk bunuh diri, sambil menunggu, ia menggunakan waktu terakhirnya tersebut untuk melihat lagi Teorema Fermat. Wolfskehl kembali dibuat penasaran dan tertarik lagi untuk membuktikan teorema tersebut. Saking asyiknya membuktikan, ia lupa dengan rencananya untuk bunuh diri. Waktu yang telah ditetapkannya pun terlewat begitu saja. Ketika ia ingat kembali dengan rencananya itu, ia kemudian merobek-robek kertas catatan rencana bunuh dirinya.
Sejak itu ia memutuskan memulai hidup baru kembali dengan penuh semangat. Wolfskehl akhirnya meninggal dunia pada tahun 1908. Ia meninggalkan surat wasiat yang isinya menjelaskan bahwa ia menyediakan uang sejumlah 100.000 mark bagi orang pertama yang bisa membuktikan Teorema Terakhir Fermat.
Pada tahun 1997 hadiah Wolfskehl, yang bernilai 50.000 dolar telah dianugerahkan. Dua tahun sebelumnya, di tahun 1995 Dr. Andrew Wiles, seorang matematikawan dari Universitas Princeton, Inggris, akhirnya berhasil membuktikan Teorema Fermat. Ia telah mencurahkan sebagian hidupnya untuk membuktikan Teorema Fermat, dengan menuliskan buktinya sebanyak 200 halaman. Bukti yang cemerlang tersebut banyak menggunakan metode matematika baru dan hasil-hasil perkembangan mutakhir matematika. Atas hasil kerja kerasnya itu, Profesor Wiles juga dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Internasional Raja Faisal semilai 200.000 dolar oleh Yayasan Raja Faisal di Arab Saudi.
Kini banyak orang percaya, kalau sebenarnya Fermat sudah punya bukti untuk teoremanya itu, namun mungkin kurang lengkap, sehingga tidak dimuat di buku-bukunya. Sekarang teorema Fermat bukan lagi sekedar dugaan. Setelah lebih dari 350 tahun, akhirnya teorema Fermat benar-benar menjadi teorema.
Apakah kamu kenal dengan Teorema Terakhir Fermat? Tapi pasti tahu dong Teorema Pythagoras? Oke, Teorema Terakhir Fermat itu sebenarnya dikembangkan dari Teorema Pythagoras. Menurut Teorema Pythagoras, ada banyak sekali bilangan bulat x, y, dan z yang memenuhi hubungan x pangkat 2 + y pangkat 2 = z pangkat 2, seperti 3, 4, 5, dan 5, 12, 13, serta 7, 24, 25 dan sebagainya. Nah, Pierre de Fermat (1601 – 1665) mengklaim kalau tidak ada bilangan bulat x, y, dan z yang memenuhi x pangkat n + y pangkat n = z pangkat n, untuk n > 2. Ia pun mengkalim sudah menemukan buktinya. Hanya sayangnya bukti itu tidak pernah didapati dibuku-buku karyanya, sehingga membuat banyak matematikawan yang lain, bahkan matematikawan di abad-abad sesudahnya penasaran dan berusaha membukti-kan teorema Fermat tersebut, tapi tidak ada yang berhasil.
Ingin tahu butuh waktu berapa lama untuk membuktikan teorema Fermat itu? Jangan kaget, butuh 3,5 abad! Ya, butuh waktu 350 tahun untuk membuktikan Teorema Terakhir Fermat tersebut. Nah, cerita berikut berawal dari usaha membuktikan teorema Fermat tersebut pada tahun 1900-an awal.
Di awal tahun 1900-an, Paul Wolfskehl –seorang professor matematika Jerman– telah meluangkan banyak waktu dalam hidupnya untuk membuktikan teorema terakhir fermat, namun tidak berhasil. Rasa frustasi karena tidak juga bisa membuktikan teoremanya Fermat dan ditambah rasa kecewanya karena gagal menjalin cinta dengan perempuan pujaan hatinya, membuat Wolfskehl berniat untuk bunuh diri. Dan karena ia seorang metodis, ia menulis catatan tentang rencana bunuh dirinya yang memuat tanggal dan detail jamnya.
Beberapa saat menjelang waktu yang telah ditentukan untuk bunuh diri, sambil menunggu, ia menggunakan waktu terakhirnya tersebut untuk melihat lagi Teorema Fermat. Wolfskehl kembali dibuat penasaran dan tertarik lagi untuk membuktikan teorema tersebut. Saking asyiknya membuktikan, ia lupa dengan rencananya untuk bunuh diri. Waktu yang telah ditetapkannya pun terlewat begitu saja. Ketika ia ingat kembali dengan rencananya itu, ia kemudian merobek-robek kertas catatan rencana bunuh dirinya.
Sejak itu ia memutuskan memulai hidup baru kembali dengan penuh semangat. Wolfskehl akhirnya meninggal dunia pada tahun 1908. Ia meninggalkan surat wasiat yang isinya menjelaskan bahwa ia menyediakan uang sejumlah 100.000 mark bagi orang pertama yang bisa membuktikan Teorema Terakhir Fermat.
Pada tahun 1997 hadiah Wolfskehl, yang bernilai 50.000 dolar telah dianugerahkan. Dua tahun sebelumnya, di tahun 1995 Dr. Andrew Wiles, seorang matematikawan dari Universitas Princeton, Inggris, akhirnya berhasil membuktikan Teorema Fermat. Ia telah mencurahkan sebagian hidupnya untuk membuktikan Teorema Fermat, dengan menuliskan buktinya sebanyak 200 halaman. Bukti yang cemerlang tersebut banyak menggunakan metode matematika baru dan hasil-hasil perkembangan mutakhir matematika. Atas hasil kerja kerasnya itu, Profesor Wiles juga dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Internasional Raja Faisal semilai 200.000 dolar oleh Yayasan Raja Faisal di Arab Saudi.
Kini banyak orang percaya, kalau sebenarnya Fermat sudah punya bukti untuk teoremanya itu, namun mungkin kurang lengkap, sehingga tidak dimuat di buku-bukunya. Sekarang teorema Fermat bukan lagi sekedar dugaan. Setelah lebih dari 350 tahun, akhirnya teorema Fermat benar-benar menjadi teorema.
19 September 2008
Matematika Di Kantor Pos
Tentu pernah dong ke kantor pos....
Pasti kamu sudah tahu kalau biaya pengiriman surat tercatat tergantung pada beratnya. Meskipun tidak ada rumus sederhana yang mengkaitkan biaya pengiriman surat dan berat surat, namun biasanya kantor pos mempunyai aturan untuk menentukan biaya pengiriman bilamana berat surat diketahui.
Misalkan C(w) adalah biaya pengiriman surat tercatat seberat w. Aturan yang digunakan Perusahan Pos mulai tahun 1998 sebagai berikut: Biayanya adalah Rp3.200,00 untuk berat sampai dengan 1 ons, ditambah Rp2.300,00 untuk setiap ons tambahan sampai dengan 11 ons. Seperti diperlihatkan pada tabel di bawah.
Dari tabel di atas, kita bisa menyatakan C(w) sebagai berikut:
Nah, fungsi C(w) inilah yang disebut dengan Fungsi Tangga atau Fungsi Nilai bulat terbesar. Grafik dari fungsi di atas tampak pada gambar di bawah ini.
Dari grafik di atas, kita tahu mengapa fungsi yang serupa dengan itu disebut fungsi tangga. Betul, sebab nilai fungsinya meloncat dari satu nilai ke nilai berikutnya.
16 September 2008
Matematika Di Dalam Bus Kota
Apa hubungan matematika dengan naik bus?
Tentu kita pernah naik bus kota dong....
Misalkan kita naik bus dalam kota Yogyakarta, jauh dekat jarak yang ditempuh ongkosnya sama, yaitu Rp. 2.000,- Ini berarti, kalau kita naik bus kota itu, entah jarak yang kita tempuh 1 km, 2 km, 3 km, atau 10 km ongkosnya sama saja, yaitu Rp. 2.000,- Nah, jarak dan tarif angkutan bus dalam kota merupakan contoh yang baik mengenai fungsi konstan dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah fungsi konstan itu?
Fungsi konstan adalah suatu fungsi y = f(x), dengan f(x) sama dengan suatu konstanta untuk setiap nilai x dalam daerah asalnya. Dengan kata lain untuk setiap x dalam daerah asal hanya berpasangan dengan suatu nilai dalam daerah hasil.
Fungsi konstan dituliskan dengan f : x --> f(x) = k, dengan x R dan k suatu konstanta. Dengan demikian rumus untuk fungsi konstan adalah y = f(x) = k.
Tentu kita pernah naik bus kota dong....
Misalkan kita naik bus dalam kota Yogyakarta, jauh dekat jarak yang ditempuh ongkosnya sama, yaitu Rp. 2.000,- Ini berarti, kalau kita naik bus kota itu, entah jarak yang kita tempuh 1 km, 2 km, 3 km, atau 10 km ongkosnya sama saja, yaitu Rp. 2.000,- Nah, jarak dan tarif angkutan bus dalam kota merupakan contoh yang baik mengenai fungsi konstan dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah fungsi konstan itu?
Fungsi konstan adalah suatu fungsi y = f(x), dengan f(x) sama dengan suatu konstanta untuk setiap nilai x dalam daerah asalnya. Dengan kata lain untuk setiap x dalam daerah asal hanya berpasangan dengan suatu nilai dalam daerah hasil.
Fungsi konstan dituliskan dengan f : x --> f(x) = k, dengan x R dan k suatu konstanta. Dengan demikian rumus untuk fungsi konstan adalah y = f(x) = k.
15 September 2008
Matematika Yang Mengubah Dunia
Seringkali matematika yang kita kenal dan yang hadir didepan kita adalah matematika yang penuh rumus, abstrak, teoritis dan kering. Tapi benarkah matematika itu ilmu yang kering dan hanya melulu rumus yang teoritis sekaligus abstrak?
Sebenarnya ada banyak sisi lain matematika yang menarik. Hanya sayang, selama ini kita belum mengenalnya, karena jarang disentuh atau tidak dihadirkan saat kita belajar matematika di sekolah. Ada banyak sisi menarik matematika yang jika digali akan membuat kita kagum dan memberi warna yang berbeda dari matematika yang selama ini kita anggap angker dan menakutkan. Ada bilangan ajaib yang kadang terasa tidak masuk akal, ada permainan yang membuat kita bengong-takjub, cerita-cerita konyol yang mengantar para ilmuwan matematika pada penemuan konsep matematika yang baru, visualisasi grafik bak lukisan yang indah nan menawan dari himpunan atau fungsi tertentu, dan lain sebagainya.
Kita pasti sepakat mengakui kalau matematika itu memang penting bagi kehidupan manusia. Bayangkan, bagaimana dunia sekarang ini seandainya tidak ada matematika? Mungkinkah kita bisa nonton TV, main game di komputer, ngobrol dengan teman lewat telepon atau sms-an dengan hand phone? Bayangkan betapa kacaunya dunia ini seandainya orang tidak mengenal bilangan dan orang tidak bisa menghitung secara sederhana. Apa yang terjadi kalau orang tidak bisa memahami ruang dimana ia berada, tidak bisa memahami harga barang di suatu toko?
Sudah tidak disangsikan lagi, matematika memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Banyak yang telah disumbangkan matematika bagi perkembangan peradaban manusia. Kemajuan sains dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini tidak lepas dari peranan matematika. Boleh dikatakan landasan utama sains dan teknologi adalah matematika. Tapi apakah sumbangan matematika hanya untuk kemajuan sains dan teknologi saja? Apakah kita tahu kalau matematika juga ikut berperan dalam menentukan arah maupun isi pemikiran-pemikiran filsafat, dalam meruntuhkan dan membangun kembali ajaran-ajaran agama, dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakekat manusia dan dunianya?
“Segala sesuatu adalah bilangan-bilangan” demikian Pythagoras berfilsafat dengan menggunakan matematika. Mungkin kita akan bingung menafsirkan pernyataan tersebut. Tapi memang demikianlah filsafat, bukan filsafat kalau tidak membingungkan. Memang tampaknya yang diungkapkan Pythagoras tersebut tidak masuk akal, namun yang dia maksudkan bukannya tanpa arti sama sekali. Ia menemukan pentingnya bilangan dalam musik, dan hubungan yang ia bangun antara musik dan matematika terkenal dengan istilah matematika, seperti “nilai rata-rata harmoni” dan “progresi harmoni”.
Pythagoras menganggap bilangan-bilangan sebagai bentuk-bentuk, sebagaimana yang ada pada dadu atau kartu permainan. Kita pun masih mewarisinya hingga sekarang dengan menggunakan istilah seperti bilangan bujur sangkar atau bilangan berpangkat dua dan bilangan kubus untuk bilangan berpangkat tiga, yang tidak lain adalah istilah-istilah yang berasal dari Pythagoras. Ia pun menggunakan istilah bilangan segi empat, bilangan segitiga, bilangan piramida, dan sebagainya. Bilangan-bilangan itu sebetulnya mewakili jumlah batu kerikil yang digunakan untuk menyusun bentuk-bentuk yang bersangkutan.
Nah, rupanya hal tersebut berhubungan dengan pandangan Pythagoras bahwa dunia ini bersifat atomis, dan menganggap tubuh terbentuk dari molekul-molekul yang terdiri dari atom-atom yang tersusun dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini ia ingin aritmatika sebagai bidang studi yang menjadi dasar dalam ilmu fisika maupun estetika.
Penemuan terpenting dari Pythagoras adalah apa yang sudah sangat kita kenal dan sering kita gunakan dalam segitiga siku-siku yaitu Dalil Pythagoras. Jumlah kuadrat sisi-sisi yang membentuk sudut siku-siku sama dengan kuadrat sisi miringnya, demikian isi dalil yang terkenal tersebut. Tapi bak buah simalakama, dalil tersebut sekaligus menjadi titik tolak ditemukannya dalil ketaksebandingan, yang mementahkan kembali seluruh filsafat Pythagoras. Karena teori aritmatika tidak cukup memadai mengenai ketaksebandingan, maka hal ini semakin meyakinkan para ahli matematika ketika itu, bahwa geometri harus disusun secara terpisah dengan aritmatika.
Dan sejak itu geometri mempunyai pengaruh yang besar terhadap filsafat dan metode ilmiah. Penalaran deduktif aksiomatis menjadi kunci utama dalam memahami pengetahuan. Ini membawa konsekuensi, Matematika tidak lagi mempelajari obyek-obyek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Dan jadilah matematika murni mendominasi.
Sebagai contoh, geometri berurusan dengan lingkaran-lingkaran eksak, bagaimanapun cermatnya kita menggambar dengan menggunakan jangka, tetap akan ada kekurangsempurnaan dan ketidakteraturan. Ini membuktikan pandangan bahwa semua penalaran eksak hanya berkenaan dengan obyek-obyek ideal yang berbeda dengan obyek inderawi. Lebih jauh ini membawa pada pandangan dalam filsafat bahwa pikiran lebih utama daripada indera, dan obyek-obyek pikiran lebih nyata ketimbang obyek-obyek persepsi inderawi.
Doktrin-doktrin mistik yang menyangkut hubungan antara waktu dan keabadian pun mendapat dukungan dari matematika murni, obyek-obyek matematika, seperti bilangan-bilangan, andaikata nyata sekalipun, sifatnya tetap abadi dan tidak lekang oleh waktu. Obyek-obyek abadi demikian dikonsepsikan sebagai pikiran Tuhan. Maka jangan heran jika muncul doktrin Plato bahwa Tuhan adalah ahli geometri. Agama rasionalistik yang berbeda dengan agama apokaliptik, semenjak Pythagoras, dan terutama semenjak Plato, telah sepenuhnya didominasi oleh matematika dan metode matematis.
Kombinasi matematika dan teologi, yang bermula dari Pythagoras, telah menanamkan ciri pada filsafat yang bercorak religius di Yunani, di Abad Pertengahan dan jaman modern hingga Immanuel Kant. Tetapi mulai era Plato dan Descartes terjadilah perpaduan yang mendalam antara agama dan penalaran, antara aspirasi moral dan sikap logika yang memuliakan segala yang baka. Hal ini tidak lepas dari pengaruh dominasi matematika murni kala itu.
Nah, sekarang percaya khan kalau matematika itu juga ikut berperan dalam menentukan arah maupun isi pemikiran-pemikiran filsafat, dalam meruntuhkan dan sekaligus membangun kembali ajaran-ajaran agama?!
Sebenarnya ada banyak sisi lain matematika yang menarik. Hanya sayang, selama ini kita belum mengenalnya, karena jarang disentuh atau tidak dihadirkan saat kita belajar matematika di sekolah. Ada banyak sisi menarik matematika yang jika digali akan membuat kita kagum dan memberi warna yang berbeda dari matematika yang selama ini kita anggap angker dan menakutkan. Ada bilangan ajaib yang kadang terasa tidak masuk akal, ada permainan yang membuat kita bengong-takjub, cerita-cerita konyol yang mengantar para ilmuwan matematika pada penemuan konsep matematika yang baru, visualisasi grafik bak lukisan yang indah nan menawan dari himpunan atau fungsi tertentu, dan lain sebagainya.
Kita pasti sepakat mengakui kalau matematika itu memang penting bagi kehidupan manusia. Bayangkan, bagaimana dunia sekarang ini seandainya tidak ada matematika? Mungkinkah kita bisa nonton TV, main game di komputer, ngobrol dengan teman lewat telepon atau sms-an dengan hand phone? Bayangkan betapa kacaunya dunia ini seandainya orang tidak mengenal bilangan dan orang tidak bisa menghitung secara sederhana. Apa yang terjadi kalau orang tidak bisa memahami ruang dimana ia berada, tidak bisa memahami harga barang di suatu toko?
Sudah tidak disangsikan lagi, matematika memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Banyak yang telah disumbangkan matematika bagi perkembangan peradaban manusia. Kemajuan sains dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini tidak lepas dari peranan matematika. Boleh dikatakan landasan utama sains dan teknologi adalah matematika. Tapi apakah sumbangan matematika hanya untuk kemajuan sains dan teknologi saja? Apakah kita tahu kalau matematika juga ikut berperan dalam menentukan arah maupun isi pemikiran-pemikiran filsafat, dalam meruntuhkan dan membangun kembali ajaran-ajaran agama, dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakekat manusia dan dunianya?
“Segala sesuatu adalah bilangan-bilangan” demikian Pythagoras berfilsafat dengan menggunakan matematika. Mungkin kita akan bingung menafsirkan pernyataan tersebut. Tapi memang demikianlah filsafat, bukan filsafat kalau tidak membingungkan. Memang tampaknya yang diungkapkan Pythagoras tersebut tidak masuk akal, namun yang dia maksudkan bukannya tanpa arti sama sekali. Ia menemukan pentingnya bilangan dalam musik, dan hubungan yang ia bangun antara musik dan matematika terkenal dengan istilah matematika, seperti “nilai rata-rata harmoni” dan “progresi harmoni”.
Pythagoras menganggap bilangan-bilangan sebagai bentuk-bentuk, sebagaimana yang ada pada dadu atau kartu permainan. Kita pun masih mewarisinya hingga sekarang dengan menggunakan istilah seperti bilangan bujur sangkar atau bilangan berpangkat dua dan bilangan kubus untuk bilangan berpangkat tiga, yang tidak lain adalah istilah-istilah yang berasal dari Pythagoras. Ia pun menggunakan istilah bilangan segi empat, bilangan segitiga, bilangan piramida, dan sebagainya. Bilangan-bilangan itu sebetulnya mewakili jumlah batu kerikil yang digunakan untuk menyusun bentuk-bentuk yang bersangkutan.
Nah, rupanya hal tersebut berhubungan dengan pandangan Pythagoras bahwa dunia ini bersifat atomis, dan menganggap tubuh terbentuk dari molekul-molekul yang terdiri dari atom-atom yang tersusun dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini ia ingin aritmatika sebagai bidang studi yang menjadi dasar dalam ilmu fisika maupun estetika.
Penemuan terpenting dari Pythagoras adalah apa yang sudah sangat kita kenal dan sering kita gunakan dalam segitiga siku-siku yaitu Dalil Pythagoras. Jumlah kuadrat sisi-sisi yang membentuk sudut siku-siku sama dengan kuadrat sisi miringnya, demikian isi dalil yang terkenal tersebut. Tapi bak buah simalakama, dalil tersebut sekaligus menjadi titik tolak ditemukannya dalil ketaksebandingan, yang mementahkan kembali seluruh filsafat Pythagoras. Karena teori aritmatika tidak cukup memadai mengenai ketaksebandingan, maka hal ini semakin meyakinkan para ahli matematika ketika itu, bahwa geometri harus disusun secara terpisah dengan aritmatika.
Dan sejak itu geometri mempunyai pengaruh yang besar terhadap filsafat dan metode ilmiah. Penalaran deduktif aksiomatis menjadi kunci utama dalam memahami pengetahuan. Ini membawa konsekuensi, Matematika tidak lagi mempelajari obyek-obyek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Dan jadilah matematika murni mendominasi.
Sebagai contoh, geometri berurusan dengan lingkaran-lingkaran eksak, bagaimanapun cermatnya kita menggambar dengan menggunakan jangka, tetap akan ada kekurangsempurnaan dan ketidakteraturan. Ini membuktikan pandangan bahwa semua penalaran eksak hanya berkenaan dengan obyek-obyek ideal yang berbeda dengan obyek inderawi. Lebih jauh ini membawa pada pandangan dalam filsafat bahwa pikiran lebih utama daripada indera, dan obyek-obyek pikiran lebih nyata ketimbang obyek-obyek persepsi inderawi.
Doktrin-doktrin mistik yang menyangkut hubungan antara waktu dan keabadian pun mendapat dukungan dari matematika murni, obyek-obyek matematika, seperti bilangan-bilangan, andaikata nyata sekalipun, sifatnya tetap abadi dan tidak lekang oleh waktu. Obyek-obyek abadi demikian dikonsepsikan sebagai pikiran Tuhan. Maka jangan heran jika muncul doktrin Plato bahwa Tuhan adalah ahli geometri. Agama rasionalistik yang berbeda dengan agama apokaliptik, semenjak Pythagoras, dan terutama semenjak Plato, telah sepenuhnya didominasi oleh matematika dan metode matematis.
Kombinasi matematika dan teologi, yang bermula dari Pythagoras, telah menanamkan ciri pada filsafat yang bercorak religius di Yunani, di Abad Pertengahan dan jaman modern hingga Immanuel Kant. Tetapi mulai era Plato dan Descartes terjadilah perpaduan yang mendalam antara agama dan penalaran, antara aspirasi moral dan sikap logika yang memuliakan segala yang baka. Hal ini tidak lepas dari pengaruh dominasi matematika murni kala itu.
Nah, sekarang percaya khan kalau matematika itu juga ikut berperan dalam menentukan arah maupun isi pemikiran-pemikiran filsafat, dalam meruntuhkan dan sekaligus membangun kembali ajaran-ajaran agama?!
13 September 2008
12 September 2008
11 September 2008
Rumah Matematika Ganti Template
Rumah Matematika ganti template baru. Moga-moga lebih nyaman untuk sejenak singgah atau untuk sekedar mampir. Karena masih tahap proses belajar, so belum bisa explore untuk membuat template yang lebih baik. Senang jika ada yang mau membantu membuat rumah matematika menjadi lebih nyaman untuk kita semua...
Salam,
HJS
Salam,
HJS
09 September 2008
Pendidikan Matematika Realistik
PMRI, Benih Pembelajaran Matematika yang Bermutu
Sutarto Hadi
Guru matematika idealnya harus mengambil peran sebagai mediator, yaitu tidak “menyuapkan” informasi kepada siswa-siswanya, tetapi memberikan kesempatan untuk membangun dan bertukar pikiran. Sebagai seorang mediator, guru menempatkan ide-ide siswa ke dalam konteks pelajaran, menghubungan pemikiran-pemikiran yang muncul satu dengan lainnya, dan membantu siswa memformulasikan dan merealisasikan ide-ide mereka. Siswa-siswa akan mengalihkan perhatiannya dari pelajaran yang disampaikan guru jika mereka merasa pelajaran tersebut kurang penting untuk menghadapi tes tertulis, kemudian secara khusus (mengambil jalan pintas) mempelajari rumus-rumus yang ditulis di papan tulis. Oleh karena itu, untuk mencapai menguasaan pelajaran, reorientasi pendidikan perlu diubah, di mana dalam evaluasi atau pengujian secara simultan harus ada keseimbangan antara “soal-soal hitungan” dan “soal-soal berpikir”. Demikian disampaikan oleh Profesor Dr Christa Kaune dari Osnabrueck University, Jerman. Kaune diundang sebagai pembicara tamu pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma pada 6 dan 7 Oktober 2006.
Seminar yang mengambil tema “Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Sekolah: Menuju Indonesia Cerdas 2020” ini juga menampilkan pembicara utama dari Tim PMRI, yaitu Prof Dr Zulkardi dari Unsri Palembang, Dr Yansen Marpaung dan Drs Susento M.Si. dari USD Yogyakarta, Dr Siti M. Amin dari UNESA Surabaya, dan Dr Sutarto Hadi M.Sc. dari Unlam Banjarmasin. Topik yang diangkat pembicara utama ini berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika melalui peningkatan efektivitas pembelajaran.
Marpaung mengangkat tema “Pendekatan Multikultural dalam Pembelajaran Matematika.” Menurutnya, pengalaman budaya berpengaruh pada proses berpikir anak. Pendekatan konstruktivisme maupun realistik yang sekarang diujicobakan dan diimplementasikan pada beberapa sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di beberapa kota di Indonesia menekankan pentingnya masalah kontekstual atau realistik dalam pembelajaran matematika.
Sejalan dengan Marpaung, Sutarto Hadi mengemukakan budaya kelas sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki pengaruh paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika. Guru akan cenderung mendominasi proses pembelajaran. Menurut Gravemeijer (1997), budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh “menjelaskan dan pembenaran” dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.
Sutarto memberikan contoh pendekatan yang dapat dilakukan guru untuk mendorong siswa mengemukakan ide dan gagasannya. (1) Memulai pelajaran dengan memberikan permasalahan yang bermakna yang mendorong keingintahuan siswa atau menantang siswa untuk berpikir. Soal yang diberikan akan lebih baik dalam bentuk pemecahan masalah dan sesuai dengan taraf berpikir siswa. (2) Mintalah siswa untuk membuat kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4 atau 5 orang dalam setiap kelompok, dan berdiskusi menyelesaikan soal yang diberikan. (3) Setiap kelompok menampilkan hasil pekerjaannya dalam bentuk poster dan dipajang di dinding kelas agar lebih mudah dibaca/dipelajari oleh siswa lain. (4) Berikan kesempatan pada kelompok-kelompok untuk menjelaskan gagasannya pada seluruh kelas secara lisan.
Prof Dr Zulkardi menjelaskan tentang peran soal kontekstual dalam pembelajaran matematika. Menurutnya, pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah konstekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi personal siswa; situasi yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi sekolah/akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal. (4) Situasi saintifik/matematika; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Menurut HJ Sriyanto (Kompas, 30 Oktober 2006) gagasan dan pemikiran yang disampaikan para pakar pendidikan matematika dalam seminar di Yogyakarta merupakan upaya menebar “virus” pembelajaran matematika yang bermutu. Gagasan dan pemikiran tersebut memberikan harapan dan menumbuhkan optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Beberapa pemikiran dikemukan oleh Sriyanto mengenai tantangan dalam implementasi inovasi dalam pembelajaran matematika tersebut:
(1) Perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Hal ini membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang “hidup” di lingkungan sekolah masing-masing.
(2) Pemerintah semestinya konsisten dengan apa yang telah dibuat, misalnya UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan kepada guru untuk melakukan evaluasi terhadap siswanya, atau yang terbaru dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), karena menurut Zulkardi dalam KTSP tersebut juga memuat pernyataan bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
(3) Perlu upaya membantu guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Para guru perlu mendapat dukungan dari sekolahnya, peneliti, LPTK, dan sebagainya.
Sutarto Hadi
Guru matematika idealnya harus mengambil peran sebagai mediator, yaitu tidak “menyuapkan” informasi kepada siswa-siswanya, tetapi memberikan kesempatan untuk membangun dan bertukar pikiran. Sebagai seorang mediator, guru menempatkan ide-ide siswa ke dalam konteks pelajaran, menghubungan pemikiran-pemikiran yang muncul satu dengan lainnya, dan membantu siswa memformulasikan dan merealisasikan ide-ide mereka. Siswa-siswa akan mengalihkan perhatiannya dari pelajaran yang disampaikan guru jika mereka merasa pelajaran tersebut kurang penting untuk menghadapi tes tertulis, kemudian secara khusus (mengambil jalan pintas) mempelajari rumus-rumus yang ditulis di papan tulis. Oleh karena itu, untuk mencapai menguasaan pelajaran, reorientasi pendidikan perlu diubah, di mana dalam evaluasi atau pengujian secara simultan harus ada keseimbangan antara “soal-soal hitungan” dan “soal-soal berpikir”. Demikian disampaikan oleh Profesor Dr Christa Kaune dari Osnabrueck University, Jerman. Kaune diundang sebagai pembicara tamu pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma pada 6 dan 7 Oktober 2006.
Seminar yang mengambil tema “Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Sekolah: Menuju Indonesia Cerdas 2020” ini juga menampilkan pembicara utama dari Tim PMRI, yaitu Prof Dr Zulkardi dari Unsri Palembang, Dr Yansen Marpaung dan Drs Susento M.Si. dari USD Yogyakarta, Dr Siti M. Amin dari UNESA Surabaya, dan Dr Sutarto Hadi M.Sc. dari Unlam Banjarmasin. Topik yang diangkat pembicara utama ini berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika melalui peningkatan efektivitas pembelajaran.
Marpaung mengangkat tema “Pendekatan Multikultural dalam Pembelajaran Matematika.” Menurutnya, pengalaman budaya berpengaruh pada proses berpikir anak. Pendekatan konstruktivisme maupun realistik yang sekarang diujicobakan dan diimplementasikan pada beberapa sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di beberapa kota di Indonesia menekankan pentingnya masalah kontekstual atau realistik dalam pembelajaran matematika.
Sejalan dengan Marpaung, Sutarto Hadi mengemukakan budaya kelas sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki pengaruh paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika. Guru akan cenderung mendominasi proses pembelajaran. Menurut Gravemeijer (1997), budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh “menjelaskan dan pembenaran” dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.
Sutarto memberikan contoh pendekatan yang dapat dilakukan guru untuk mendorong siswa mengemukakan ide dan gagasannya. (1) Memulai pelajaran dengan memberikan permasalahan yang bermakna yang mendorong keingintahuan siswa atau menantang siswa untuk berpikir. Soal yang diberikan akan lebih baik dalam bentuk pemecahan masalah dan sesuai dengan taraf berpikir siswa. (2) Mintalah siswa untuk membuat kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4 atau 5 orang dalam setiap kelompok, dan berdiskusi menyelesaikan soal yang diberikan. (3) Setiap kelompok menampilkan hasil pekerjaannya dalam bentuk poster dan dipajang di dinding kelas agar lebih mudah dibaca/dipelajari oleh siswa lain. (4) Berikan kesempatan pada kelompok-kelompok untuk menjelaskan gagasannya pada seluruh kelas secara lisan.
Prof Dr Zulkardi menjelaskan tentang peran soal kontekstual dalam pembelajaran matematika. Menurutnya, pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah konstekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi personal siswa; situasi yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi sekolah/akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal. (4) Situasi saintifik/matematika; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Menurut HJ Sriyanto (Kompas, 30 Oktober 2006) gagasan dan pemikiran yang disampaikan para pakar pendidikan matematika dalam seminar di Yogyakarta merupakan upaya menebar “virus” pembelajaran matematika yang bermutu. Gagasan dan pemikiran tersebut memberikan harapan dan menumbuhkan optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Beberapa pemikiran dikemukan oleh Sriyanto mengenai tantangan dalam implementasi inovasi dalam pembelajaran matematika tersebut:
(1) Perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Hal ini membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang “hidup” di lingkungan sekolah masing-masing.
(2) Pemerintah semestinya konsisten dengan apa yang telah dibuat, misalnya UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan kepada guru untuk melakukan evaluasi terhadap siswanya, atau yang terbaru dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), karena menurut Zulkardi dalam KTSP tersebut juga memuat pernyataan bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
(3) Perlu upaya membantu guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Para guru perlu mendapat dukungan dari sekolahnya, peneliti, LPTK, dan sebagainya.
08 September 2008
Matematika Sama Indahnya dengan Puisi dan Musik
Matematika Sama Indahnya dengan Puisi dan Musik
KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA / Kompas Images
Pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri) Jaya Suprana menyerahkan sertifikat Muri kepada Rektor Universitas Sriwijaya Badia Perizade (kanan), Kamis (24/7). Unsri memecahkan rekor sebagai penyelenggara lomba puisi matematika pertama.
Jumat, 25 Juli 2008 | 03:00 WIB
Membuat puisi cinta untuk sang pujaan hati sudah hal biasa, tetapi bagaimana jika membuat puisi bertema matematika?
Sulit membayangkan membuat rumus matematika yang membuat dahi berkerut menjadi untaian kalimat yang indah. Tetapi, itulah kenyataannya.
Itu sebabnya, Museum Rekor Indonesia (Muri) memberikan penghargaan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebagai penyelenggara lomba puisi matematika yang pertama sekaligus diikuti peserta terbanyak.
Sertifikat Muri diserahkan langsung oleh pendiri Muri dan pakar kelirumologi Jaya Suprana kepada Rektor Unsri Badia Perizade di sela-sela Konferensi Nasional Matematika XIV dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia, Kamis (24/7). Acara penyerahan sertifikat berlangsung di gedung Pascasarjana Unsri, Jalan Padang, Selasa di Palembang.
Bagi Anda yang penasaran dengan puisi matematika, bisa menikmati 30 puisi terbaik yang dipamerkan di kompleks pascasarjana Unsri.
Para pemenang lomba puisi matematika berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan sejumlah pemenang berasal dari kabupaten/kota di Sumatera Selatan.
Ketua panitia Konferensi Nasional Matematika XIV Zulkardi menuturkan, lomba tersebut diikuti 2.008 peserta dari seluruh Indonesia dengan kategori SD sampai mahasiswa.
”Meskipun banyak sekali puisi matematika yang dikirimkan, ternyata temanya tetap tidak jauh dari soal cinta,” kata Zulkardi.
Zulkardi menuturkan, matematika sangat penting bagi kehidupan manusia. Hampir semua teknologi yang dimanfaatkan manusia berbasis ilmu matematika. ”Telah terjadi pergeseran dalam ilmu matematika. Siswa tidak hanya belajar matematika agar bisa berhitung. Matematika menjadi kebutuhan dalam kehidupan global,” ujar Zulkardi.
Menurut Jaya Suprana, puisi dan matematika sama-sama memiliki keindahan. Pemecahan rekor ini tidak hanya di bidang kesenian dan pengetahuan, tetapi juga di bidang peradaban dan kebudayaan manusia yang adiluhung.
”Saya mengusulkan agar puisi matematika ini diterbitkan dalam bentuk buku. Teman saya dari penerbit Gramedia pasti mau menerbitkan,” ujar Jaya Suprana yang siang itu tampil dengan pakaian serba hitam yang menjadi ciri khasnya.
Jaya Suprana yang pernah belajar musik di Hanover, Jerman, menuturkan bahwa musik ternyata juga sama dengan matematika.
”Saya menemukan rumus pembagian nada pentatonis pada gamelan yang dibagi lima dan semuanya adil, tidak dibagi 12 seperti alat musik Barat. Sistem pentatonis seperti pada gamelan hanya ada di Indonesia,” kata Jaya Suprana yang juga dikenal sebagai pianis itu.
Menurut Jaya Suprana, matematika itu indah sekali. Agama maupun filosofi Pancasila pun berdasarkan matematika. Oleh sebab itu, sudah seharusnya matematika mendapat tempat terhormat di Indonesia. (WAD)
KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA / Kompas Images
Pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri) Jaya Suprana menyerahkan sertifikat Muri kepada Rektor Universitas Sriwijaya Badia Perizade (kanan), Kamis (24/7). Unsri memecahkan rekor sebagai penyelenggara lomba puisi matematika pertama.
Jumat, 25 Juli 2008 | 03:00 WIB
Membuat puisi cinta untuk sang pujaan hati sudah hal biasa, tetapi bagaimana jika membuat puisi bertema matematika?
Sulit membayangkan membuat rumus matematika yang membuat dahi berkerut menjadi untaian kalimat yang indah. Tetapi, itulah kenyataannya.
Itu sebabnya, Museum Rekor Indonesia (Muri) memberikan penghargaan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebagai penyelenggara lomba puisi matematika yang pertama sekaligus diikuti peserta terbanyak.
Sertifikat Muri diserahkan langsung oleh pendiri Muri dan pakar kelirumologi Jaya Suprana kepada Rektor Unsri Badia Perizade di sela-sela Konferensi Nasional Matematika XIV dan Kongres Himpunan Matematika Indonesia, Kamis (24/7). Acara penyerahan sertifikat berlangsung di gedung Pascasarjana Unsri, Jalan Padang, Selasa di Palembang.
Bagi Anda yang penasaran dengan puisi matematika, bisa menikmati 30 puisi terbaik yang dipamerkan di kompleks pascasarjana Unsri.
Para pemenang lomba puisi matematika berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Bahkan sejumlah pemenang berasal dari kabupaten/kota di Sumatera Selatan.
Ketua panitia Konferensi Nasional Matematika XIV Zulkardi menuturkan, lomba tersebut diikuti 2.008 peserta dari seluruh Indonesia dengan kategori SD sampai mahasiswa.
”Meskipun banyak sekali puisi matematika yang dikirimkan, ternyata temanya tetap tidak jauh dari soal cinta,” kata Zulkardi.
Zulkardi menuturkan, matematika sangat penting bagi kehidupan manusia. Hampir semua teknologi yang dimanfaatkan manusia berbasis ilmu matematika. ”Telah terjadi pergeseran dalam ilmu matematika. Siswa tidak hanya belajar matematika agar bisa berhitung. Matematika menjadi kebutuhan dalam kehidupan global,” ujar Zulkardi.
Menurut Jaya Suprana, puisi dan matematika sama-sama memiliki keindahan. Pemecahan rekor ini tidak hanya di bidang kesenian dan pengetahuan, tetapi juga di bidang peradaban dan kebudayaan manusia yang adiluhung.
”Saya mengusulkan agar puisi matematika ini diterbitkan dalam bentuk buku. Teman saya dari penerbit Gramedia pasti mau menerbitkan,” ujar Jaya Suprana yang siang itu tampil dengan pakaian serba hitam yang menjadi ciri khasnya.
Jaya Suprana yang pernah belajar musik di Hanover, Jerman, menuturkan bahwa musik ternyata juga sama dengan matematika.
”Saya menemukan rumus pembagian nada pentatonis pada gamelan yang dibagi lima dan semuanya adil, tidak dibagi 12 seperti alat musik Barat. Sistem pentatonis seperti pada gamelan hanya ada di Indonesia,” kata Jaya Suprana yang juga dikenal sebagai pianis itu.
Menurut Jaya Suprana, matematika itu indah sekali. Agama maupun filosofi Pancasila pun berdasarkan matematika. Oleh sebab itu, sudah seharusnya matematika mendapat tempat terhormat di Indonesia. (WAD)
05 September 2008
Langganan:
Postingan (Atom)