A. Membangun Dunia
Dunia tidak hanya dipandang sebagai dunia secara fisik material semata,
tetapi juga dunia yang dihayati dan dihidupi oleh manusia. Fisika modern,
beserta dengan ilmu-ilmu modern lainnya, sering melakukan penyempitan pemahaman
atas dunia dengan melihatnya semata sebagai gejala material-fisik-biologis
saja. Pun alam semesta lebih kecil daripada dunia itu sendiri. Alam semesta
hanyalah dunia fisik yang merupakan satu bagian kecil dari dunia sebagai
keseluruhan. Markus Grabriel, seorang
Professor Filsafat di bidang Epistemologi dan Filsafat Modern di Universität
Bonn menyatakan bahwa alam semesta hanyalah salah satu dari
ruang-ruang objek, satu bagian dari keseluruhan, dan bukan keseluruhan itu
sendiri.
Dunia
terbangun dari sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Oleh karena itu apa yang
kita pikirkan dan tidak dapat dipikirkan itulah dunia. Apa yang ada di sekitar
kita dan di luar lingkungan kita itulah dunia. Dunia dapat berupa komponen
sintesis dari anti-tesis dan tesis yang terkandung di dalamnya. Segala yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini menempati ruang dan
waktunya masing-masing. Setiap unsur di dunia ini telah diciptakan secara
seimbang. Misalnya jika separo dunia ontologi, maka separo dunia yang lain
adalah tidak ontologi, jika separo dunia adalah epistemologi maka separo dunia
yang lain adalah tidak epistemologi, jika separo dunia adalah aksiologi maka
separo dunia yang lain adalah tidak aksiologi, jika separo dunia adalah vatal
maka separo dunia yang lain adalah fital, jika separo dunia adalah filsafat
maka separo dunia yang lain adalah penerapannya, jika separo dunia adalah
matematika dan pendidikan matematika, maka separo dunia yang lain adalah
penerapannya, jika separo dunia adalah subjek maka separo dunia yang lain
adalah predikat, jika separo dunia adalah logos, maka separo dunia yang lain
adalah mitos, jika separo dunia adalah apa yang kita pikirkan, maka separo
dunia yang lain adalah apa yang tidak kita pikirkan.
Dunia sebagai keseluruhan, menurut
pandangan filsafat klasik, adalah bidang dari segala bidang-bidang lainnya. Ia
adalah jaringan dari keseluruhan. Namun manusia tidak akan pernah bisa memahami
dunia demikian, karena pengetahuannya yang terbatas. Terjangan filsafat
posmodern telah membuyarkan harapan manusia tentang filsafat yang bisa
menjelaskan segalanya dalam satu gambaran dunia yang utuh dan koheren. Akibatnya,
banyak orang kini kehilangan pegangan, karena panduan dunia yang utuh dan
menyeluruh telah menghilang. Keyakinan akan kebenaran mutlak dipertanyakan
ulang. Sebaliknya, imajinasi dan kreativitas justru meningkat, guna mengisi
kekosongan yang telah ditinggalkan. Dunia bagaikan rumah - tempat yang dingin
yang harus ditata dengan imajinasi dan daya cipta manusia. Tidak ada pilihan
lain, kecuali manusia menjalani ini semua dengan penuh kesadaran dan kebebasan.
Inilah kesempatan bagi manusia
membangun dunia dengan imajinasi, kreativitas, kebebasan dan kesadarannya
secara utuh dan penuh. Membangun peradaban yang lebih baik, lebih manusiawi –
peradaban yang menempatkan manusia sebagai subyek yang menghargai hidup dan
kehidupan, menghargai alam semesta dan setiap makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Membangun peradaban dunia yang seimbang. Peradaban, pertama dan terutama merupakan
produk dari mental manusia. Institusi-institusi yang menopang kehidupan
manusia, seperti negara, agama, dan masyarakat dibentuk melalui imajinasi dan
pemikiran manusia. Penyempitan dunia manusia hanya pada dimensi material
biologisnya mengabaikan seluruh proses mental ini, yang telah menghasilkan
peradaban manusia. Sebagai suatu eksistensi, manusia adalah sekaligus kesatuan
semua dimensinya, termasuk tubuh dan mentalnya.
B. Membangun Hidup
Dunia beradab jika manusia mampu
membangun kehidupannya dengan baik dan benar. Untuk membangun hidup yang baik
dan benar, manusia harus mampu menggunakan semua yang ada dan yang mungkin ada,
termasuk pikiran – akal budi dan hati – nurani. Hidup yang tidak direfleksikan,
tidak layak untuk dihidupi. Oleh karenanya, berefleksi adalah bagian dari
membangun hidup. Dengan berefleksi manusia menggali makna terdalam dari
peristiwa hidup yang dialaminya dengan terang akal budi dan hati nurani. Lewat
refleksi manusia memiliki kesempatan untuk menguji kesadaran diri dan meneliti gerakan
bathin untuk membedakan roh baik dan roh jahat – memungkinkan manusia untuk
memilih mana yang baik dan benar. Refleksi membentuk sikap hidup.
Menurut Prof. Dr. Marsigit M.A. sebenar-benar filsafat adalah refleksi
hidup manusia itu sendiri. Berfilsafat itu berolah pikir. Ini berarti
menggunakan segenap akal budi dan pikiran dalam memandang segala sesuatu.
Sejauh manusia membutuhkan pencerahan hidup yang dituntun terang akal budi,
maka filsafat akan selalu dibutuhkan oleh manusia. Sebenarnyalah filsafat
adalah kehidupan itu sendiri. Filsafat akan menyerta dalam setiap kehidupan
manusia. Filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan berefleksi secara mendalam
untuk menemukan makna terdalam hidup – hakekat hidup dan kehidupan itu sendiri.
Filsafat itu merupakan olah pikir yang masih terbuka secara spiritual
maupun non spiritual. Dalam berfilsafat agar benar dan terarah, manusia harus
meletakkan spiritual sebagai fondasi atau dasar dan sekaligus muara dalam
berfilsafat. Setinggi-tingginya pengembaraan pikiran dalam berfilsafat tetap
dalam kerangka spiritual. Bagaimanapun di atas langit filsafat masih ada langit
spiritual. Berfilsafat semestinya diarahkan agar manusia dapat semakin mudah
menemukan Tuhan Sang Pencipta semesta, supaya manusia semakin dekat dan menyatu
dengan Sang Hidup sendiri. Find God in all things, demikian St Ignatius
Loyola mengungkapkan.
Filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan berefleksi secara
mendalam untuk menemukan makna terdalam – hakekat tentang sesuatu hal. Untuk
bisa memahami hakekat tentang sesuatu hal, manusia harus mempunyai kesadaran
akan sesuatu hal tersebut. Untuk menggapai hakekat, manusia harus mampu
meletakkan segenap kesadarannya di depan mereka. Agar dapat menyadari tentang
hakekat-hakekat itu, manusia harus menerjemahkan dan diterjemahkan dalam ruang
dan waktu. Filsafat membantu manusia untuk tetap sadar
akan keterbatasannya. Ia mengajak manusia menelusuri ruang-ruang terdalam
jiwanya, guna menemukan makna hidup yang mendorongnya untuk terus hidup.
Filsafat mengajak kita melintas pelbagai area makna dengan berani dan tulus. Pada titik inilah sebenarnya berfilsafat itu
mengolah hidup.
Filsafat itu mempunyai daya bongkar dan daya dobrak yang luar biasa
terhadap segala macam kemapanan, baik kemapanan pemikiran dan
kemapanan-kemapanan yang lain, bahkan kemapanan hidup. Dan ketika orang
berhenti berfilsafat maka sebenarnya kehidupan itu mandeg! Karena itu berarti orang
berhenti berpikir, berhenti berefleksi – berhenti merenung seperti gunung di
kedalaman kontemplasi.
C. Membangun Pengetahuan
Mempelajari filsafat memiliki berbagai manfaat, diantaranya adalah
memberikan pengertian mendalam tentang manusia; menganalisis dan mengkritisi argumentasi,
pendapat, ideologi dan pandangan dunia; pendasaran metodis dan wawasan
mendalam dan kritis terhadap ilmu pengetahuan. Salah satu fungsi filsafat
adalah sebagai alat untuk mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada dan
yang mungkin ada. Filsafat dengan pola dan model-model yang spesifik menggali
dan meneliti pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari suatu fenomena
tertentu. Pada titik inilah filsafat melahirkan pengetahuan.
Pengetahuan adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Sesuatu yang
menjadi pengetahuanya adalah yang terdiri dari unsur yang mengetahui dan yang
diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya. Maka
pengetahuan selalu menuntut adanya subyek yang mempunyai kesadaran untuk ingin
mengetahui tentang sesuatu dan objek sebagai hal yang ingin diketahuinya. Jadi,
pengetahuan adalah hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu.
Semua pengetahuan hanya dikenal dan ada dalam pikiran manusia, tanpa pikiran
pengetahuan tidak bisa eksis. Dengan demikian keterkaitan antara pengetahuan
dengan pikiran merupakan sesuatu yang kodrati.
Bagian dari filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan
keshahihan pengetahuan adalah epistemologi. Objek material epistemologi adalah
pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu. Pengetahuan
dapat terjadi melalui berbagai proses berikut: 1) Pengalaman indra (sense
experience). Pengalaman indra merupakan sumber pengetahuan yang berupa
alat-alat untuk menangkap obyek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra.
2) Nalar (reason). Salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua
pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. 3) Otoritas
(authority). Kekuasaan yang syah yang dimiliki oleh seseorang dan
diakui oleh kelompoknya. 4) Intuisi (intuition). Kemampuan yang ada
pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan
dengan tanpa suatu rangsangan untuk membuat peryataan yang berupa
pengetahuan. 5) Wahyu (revelation). Wahyu merupakan salah satu sumber
pengetahuan karena kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan kita. 6) Keyakinan
(faith). Kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan.
Munculnya Teori Pengetahuan dari Immanuel Kant,
sebagai landasan epistemologis dari pengetahuan, dipengaruhi paling tidak oleh
pengaruh dua aliran epistemologi yang masing-masing berakar pada pondasi
empiris dan pondasi rasionalis. Menurut kaum pondasionalis empiris, terdapat
unsur dasar pengetahuan dimana nilai kebenarannya lebih dihasilkan oleh hukum
sebab-akibat dari pada dihasilkan oleh argumen-argumennya; mereka percaya bahwa
keberadaan dari kebenaran tersebut disebabkan oleh asumsi bahwa obyek dari
pernyataannyalah yang membawa nilai kebenaran itu. Kaum pondasionalis empiris
mempunyai dua asumsi: (a) terdapat nilai kebenaran, jika kita mengetahuinya,
yang memungkinkan kita dapat menjabarkan semua pengetahuan tentang ada; (b)
nilai kebenaran itu diterima sebagai benar tanpa prasyarat.Untuk menemukan konsep dan putusan yang mana yang
mendasari pengetahuan, kaum pondasionalis rasionalis berusaha mencari sumber
dari kegiatan berpikir, yaitu kegiatan dimana kita dapat menemukan ide dasar
dan kebenaran. Kegiatan dimaksud merupakan kegiatan intelektual yang memerlukan
premis-premis yang dapat berupa kegiatan intuisi atau semacam refleksi diri
seperti yang terjadi pada Cogito-nya Cartesius. Kegiatan tersebut tidak hanya
menghasilkan pondasi yang dicari dari pengetahuan tetapi juga memberikan
kepastian epistemologis, yaitu suatu keadaan yang pasti dan dengan sendirinya
benar. Dasar dari ide dan putusan bersifat pasti karena mereka dihasilkan dari
suatu aktivitas yang terang dan jelas sebagai prasyarat diperolehnya putusan
yang dapat diturunkan menjadi putusan-putusan yang lainnya. Kaum rasionalis
seperti Plato, Descartes, Leibniz, atau Spinoza, percaya bahwa semua
pengetahuan telah ada pada akal budi sebelum aktivitas kognisi dimulai; namun,
mereka dianggap belum mampu meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang menjamin
nilai kebenaran suatu proposisi. Di lain pihak, usaha meletakkan dasar kognisi
dan pengetahuan tidak berarti bahwa seorang Immanuel Kant memadukan begitu saja
apa yang dikerjakan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis. Kant berusaha
untuk menjawab pertanyaan bagaimana kegiatan kognisi mungkin terjadi dalam
kaitannya dengan hubungan antara subjek dan objek atau bagaimana representasi
sintetik dan obyeknya dapat terjadi dan bagaimana hubungan antara keduanya?
Filsafat yang secara khusus membincangkan ilmu
pengetahuan disebut sebagai filsafat ilmu. Fungsi filsafat ilmu adalah untuk
memberikan landasan filosofis dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu
disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Filsafat
ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif
antara hipotesis dengan evidensi dan theory
of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun
besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah manusia tidak
terjebak dalam bahaya arogansi intelektual; kritis terhadap aktivitas
ilmu/keilmuan; merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu
terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar; mempertanggungjawabkan
metode keilmuan secara logis-rasional; memecahkan masalah keilmuan secara
cerdas dan valid; serta berpikir sintetis-aplikatif. Demikianlah semestinya
kita membangun pengetahuan.
D. Membangun Pendidikan Matematika
Matematika, pada
hakekatnya, selalu berusaha mengungkap kebenaran namun dalam sejarah
panjangnya, sejak jaman Renaisan, aspek empiris dari matematika seperti yang
dicanangkan oleh John Stuart Mill ternyata kurang mendapat prospek yang cerah.
Matematika telah berkembang menjadi kegiatan abstraksi yang lebih tinggi di
atas kejelasan pondasinya. Kaum pondasionalis epistemologis berusaha meletakkan
dasar pengetahuan matematika dan berusaha menjamin kepastian dan kebenaran
matematika, untuk mengatasi kerancuan dan ketidakpastian dari pondasi
matematika yang telah diletakkan sebelumnya. Di dalam Teori Pengetahuannya,
Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar epistemologis bagi matematika untuk
menjamin bahwa matematika memang benar dapat dipandang sebagai ilmu. Kant
menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah
memperlakukan matematika sebagai pengetahuan a priori. Menurut Kant, secara
spesifik, validitas obyektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui
bentuk a priori dari sensibilitas kita yang memungkinkan diperolehnya
pengalaman inderawi.
Pandangan tentang matematika dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: pertama,
memandang obyek matematika sebagai ide dalam pikirannya (Absolutism-Idealism-Platonism); kedua,
memandang obyek matematika di luar pikirannya (Intuitionism-Realism-Aristotelianism). Absolutism-Idealism-Platonism kemudian melahirkan Logicist-Formalist-Foundationlist. Sedangkan
Realism-Relativism-Aristotelianism
kemudian melahirkan Empiricism-Fallibism-SocioConstructivism.
Perbedaan mendasar antara matematika
yang dibangun oleh kaum Logicist-Formalist-Foundationalist
dan matematika yang dibangun oleh para Intuitionist-Realist-Aristotelianist-Empiricist-Relativist,
yang bergandengan tangan dengan kaum Fallibist-Socio-Constructivist
adalah bahwa kaum Logicist-Formalist-Foundationalist
hidup di dunia yang terbebas dari ruang dan waktu, terbebas dari kontradiksi,
terjamin konsistensinya. Unggul secara substansi, tetapi unggul dalam bentuk
formalnya. Mereka adalah harapan bagi pengembangan pure-mathematics ke depan. Sementara dunianya ruang dan waktu
dihuni oleh para Intuitionist-Realist-Aristotelianist-Empiricist-Relativist,
yang bergandengan tangan dengan kaum Fallibist-Socio-Constructivist.
Mereka penuh dengan kontradiksi, tidak konsisten, bersifat relatif, mengerjakan
matematika yang belum benar dan subyektif.
Absolutism yang merupakan perwujudan dari Platonism, mewarnai dunia
pendidikan dengan pure mathematics-nya.
Sistem matematika dikembangkan berawal dari anggapan atau pra-anggapan (Assumption or Pre-assumption) yang
contohnya bisa berupa unsur primitif (Primitive
Element), kesepakatan (Convention/Agreement),
pengandaian (Assumption) atau
definition. Sistem matematika mencakup asumsi dasar, definisi, aksioma, teorema
sampai pada lema-lemanya. Agar tetap terjamin konsistensi logika matematikanya
maka kaum Logicist-Formalist-Foundationalist
cenderung membangun sistem matematika yang bersifat tertutup.
Sedangkan fallibism-constructivism berasal dari Aristotelian yang
menghendaki matematika bukan sebagai struktur formal yang tertutup dan absolut,
tetapi sebagai kegiatan kaya dengan proses membangun (konstruktif), memandang bahwa
matematika itu tidak terbebas dari kesalahan. Construktivism dalam kajian filsafat adalah cara manusia membangun
kehidupannya itu sendiri. Oleh karena itu, constructivism
adalah hermeneutika itu sendiri. Pembelajaran matematika yang didasarkan pada constructivism
menekankan pada membangun pengetahuan, pemahaman, aspek psikologis, sosial dan
interpersonal siswa dengan didasarkan atas kepercayaan. Kepecayaan dalam hal
ini adalah bahwa guru mempercayai bahwa siswa memiliki kemampuan jika diberi
kesempatan. Dengan demikian constructivism jauh letaknya dari determinis,
dimana guru telah menetapkan sifat siswa atau membuat prejudice yang
diistilahkan juga dengan menutupi sifat-sifat siswanya. Guru dalam kondisi
demikian telah melakukan reduksi terhadap sifat siswa.
Wilder R.L. menyatakan
bahwa dalam sudut pandang constructivism obyek
matematika ada hanya jika dapat dibangun
(dikonstruk). Berangkat dari pandangan ini, semua objek matematika
seharusnya dapat dikonstruk dan dibawa ke dalam pembelajaran matematika. Menurut
Kant, constructivism berangkat dari kesadaran akan keterbatasan,
ketidaksempurnaan dan kerentanan manusia. Manusia terancam dengan klaim yang
tidak benar sehingga kata Kant, “thus
they need to check and criticize the unjustified and arbitrary assumptions they
make in reasoning”.
Matematika yang diajarkan di sekolah
cenderung merujuk pada pure mathematics.
Definisi matematika demikian tidak cukup ramah untuk bergaul dengan siswa-siswa
SD dan SMP. Definisi matematika demikian juga tidak mampu menyelesaikan problem
pembelajaran matematika di sekolah. Mungkin baik jika kita melihat definisi
matematika sekolah dari Ebbutt and Straker (1995) yang mendefinisikan
Matematika sebagai berikut: (1). Matematika adalah ilmu tentang penelusuran
pola dan hubungan (2). Matematika adalah ilmu tentang pemecahan masalah (Problem Solving) (3). Matematika adalah ilmu
tentang kegiatan investigasi (4). Matematika adalah ilmu berkomunikasi.
Definisi matematika demikian ini sangat kaya dengan aspek-aspek psikologis,
social dan constructivist.
Setidaknya terdapat 2 (dua) asumsi
dasar, pertama, siswa mampu memahami
dan membangun konsep matematika melalui logika atau penalarannya; kedua, siswa mampu memahami dan
membangun konsep matematika melalui pengamatannya terhadap fenomena matematika.
Logika atau penalaran bersifat "analitik a priori", sedangkan
pengamatan fenomena matematika menghasilkan konsep matematika yang bersifat
"sintetik a posteriori". Pilar bangunan Architektonic Mathematics adalah pertemuan atau perkawinan keduanya
sehingga menghasilkan pemahaman dan bangunan matematika yang bersifat
"sintetik apriori". Dan menurut Immanuel Kant, matematika bisa
menjadi ilmu jika ia bersifat "sintetik a priori".
Interaksi antara subjectivity of mathematics dan objectivity
of mathematics itulah yang kemudian disebut sebagai "The Nature Of Students Learn Mathematics”
atau "Hakekat Siswa Belajar Matematika". Inilah hakekat belajar
matematika yang ditemukan oleh Paul Ernest (2002) dalam bukunya yang berjudul The Philosophy of Mathematics Education.
Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A. salah
satu bentuk kompromi antara pure
mathematics dan school mathematics
adalah jika obyek telaah berada diwilayahnya pure mathematician, maka para mathematical
educationistlah yang harus menyesuaikan diri, mempelajari dunianya Logicist-Formalist-Foundationalist,
yaitu dengan cara melakukan mathematical
research. Tetapi jika obyek telaah berada di wilayah mathematical educationist, maka pure
mathematician seharusnyalah perlu menyelami, mempelajari dan terlibat di
dalam pengembangan mathematical education
dalam aspek-aspeknya Intuitionist-Fallibist-Sosio-Constructivist.
Selain itu, Marsigit menawarkan apa yang disebutnya Quasi-Mathematics, yaitu daerah yang berada diantara Pure Horizontal Mathematics dan Pure Vertical Mathematics. Dengan Quasi-Mathematics kita dapat
mempertemukan pure mathematics dan school mathematics.
Kepustakaan:
Aiken, Henry D. 2002. Abad Ideologi. Yogyakarta : Bentang
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta :
Rajawali Pers
Rekaman perkuliahan Filsafat Ilmu dengan dosen
pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Russel, Bertrand. 2005. Sejarah Filsafat Barat dan
kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang
(terjemahan). Yogkarta : Pustaka Pelajar.
Sriyanta, HJ
NIM 13709251034
PPs UNY Pendidikan Matematika Kelas B