14 November 2013

Napak Tilas Jejak Filsafat 1 : Filsafat Kuno




Mencintai kebenaran merupakan awal proses manusia menggunakan daya pikirnya, sehingga mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi.  Orang Yunani pada awalnya sangat percaya pada dongeng dan takhyul, namun lama kelamaan, terutama setelah mampu membedakan yang riil dan yang ilusi, mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Pada titik inilah, periode filsafat Yunani sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada periode ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris.
Perubahan ini tampaknya sederhana, tapi memiliki implikasi yang luar biasa. Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif dalam menghadapi fenomena alam, menjadikannya obyek penelitian dan pengkajian. Menggugah rasa keingintahuan yang semakin mendalam tentang alam, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti dari manakah asal usul alam ini? Bagaimana terjadinya? Pertanyaan seperti inilah yang selalu diajukan oleh para filsuf Yunani, sehingga mereka disebut filsuf alam, sebab perhatiannya yang begitu besar terhadap alam.
Filsuf alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM). Ia digelari Bapak Filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan. “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” merupakan pertanyaan yang sangat mendasar, terlepas apapun jawabannya. Dan yang lebih penting, pertanyaan tersebut dijawabnya dengan pendekatan rasional bukan dengan pendekatan mitos. Menurut Thales asal alam adalah air, karena air merupakan unsur penting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berubah menjadi benda gas (uap), air dapat berubah menjadi benda padat (es) dan bumi ini berada di atas air.
Filsuf alam selanjutnya adalah Anaximander (610-540 SM) yang mengatakan bahwa segala hal berasal dari substansi asalai, namun substansi itu bukanlah air seperti diyakini Thales, atau substansi manapun yang kita ketahui. Substansi itu tidak terbatas, abadi dan tak mengenal usia, dan “ia melingkupi seluruh dunia-dunia” – sebab Anaximander menganggap bahwa dunia kita ini hanyalah salah satu dari banyak dunia. Substansi asali itu diubah menjadi pelbagai substansi yang kita kenal, dan substansi-substansi itu saling ditransformasikan menjadi substansi yang satu atau yang lain. Anaximander memiliki keingintahuan ilmiah yang besar. Konon ia adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti silinder. Anaximander dikenal orisinal, berwatak ilmiah dan rasionalistik.
Tokoh lain adalah Anaximenes yang muncul setelah Anaximander dan sudah dewasa sebelum tahun 494 SM. Menurutnya substansi yang paling dasar adalah udara. Jiwa adalah udara. Api adalah udara yang encer, jika dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi menjadi tanah, dan akhirnya menjadi batu. Anaximenes berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar.
Ketiga tokoh di atas, yaitu Thales, Anaximander, dan Anaximenes sering dikenal sebagai tritunggal Milesian. Mazhab Milesian penting bukan karena apa yang dicapainya, namun karena apa yang diupayakannya. Kemunculannya didorong oleh kontak anata pemikiran Yunani dengan Babilonia dan Mesir. Mengingat Miletus adalah kota niaga, tempat bertemunya orang dari berbagai penjuru. Miletus merupakan kota niaga yang makmur, dimana prasangka dan takhayul primitive diperlunak karena pergaulannya dengan berbagai bangsa. Pemikiran spekulatif Thales, Anaximander, dan Anaximenes bisa dianggap sebagai hipotesis-hipotesis ilmiah, dan hamper tak pernah mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan hasrat-hasrat antropomorfis dan ide-ide moral. Persoalan-persoalan yang mereka kemukakan adalah persoalan yang berharga, dan semangat mereka bisa memacu penyelidikan selanjutnya.
Pythagoras (580-500 SM) merupakan seorang tokoh terpenting yang pernah hidup, baik ketika ia bijak maupun tak bijak, demikian Bertrand Russel mengungkapkan. Matematika dalam pengertian sebagai argumen deduktif demonstratif bermula dari dia dan oleh dialah matematika dikaitkan dengan suatu bentuk mistisisme yang ganjil. Pengaruh matematika terhadap filsafat, yang sebagian adalah karena dia, sejak saat itu menjadi cukup mendalam sekaligus kurang menguntungkan. Pythagoras mengatakan bahwa segala sesuatu adalah bilangan-bilangan. Baginya tidak ada satupun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantitas). Karena itu dia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Pythagoras menganggap bilangan-bilangan sebagai bentuk-bentuk. Kita pun masih memakai istilah bilangan bujur sangkar (bilangan berpangkat dua), bilangan kubus (bilangan berpangkat tiga) yang tak lain adalah istilah-istilah dari Pythagoras. Penemuan terpenting dari Pythagoras adalah proposisi tentang segitiga siku-siku, yakni bahwa kuadrat sisi-sisinya yang membentuk sudut siku-siku sama dengan sama dengan hasil kuadrat dari sisi yang lain, yakni sisi miringnya.
Berkait dengan keberadaan alam semesta, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama muncul dari Heraklitos (540-480 SM) yang melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Jika kita ingin memahami kehidupan kosmos, kita harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Heraklitos menyimpulkan bahwa tidak ada suatupun yang benar-benar ada, semuanya menjadi. Ungkapannya yang terkenal dalam menggambarkan perubahan ini adalah panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal matap).
Berbeda dengan Heraklitos, Parmenides (515-440 SM) memandang bahwa alam semesta itu selalu dalam keadaan tetap, gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Parmenides menegaskan bahwa yang ada itu ada. Yang tidak ada memang tidak ada, tidak bisa dipikirkan dan menjadi obyek pembicaraan. Yang ada akan tetap ada dan tidak mungkin menjadi tidak ada. Demikian juga yang tidak ada tidak mungkin berubah menjadi ada. Oleh karenanya, yang ada itu ada dan itulah kebenaran.
Benar tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Dengan kata lain, ukuran kebenaran adalah akal manusia. Parmenides menentang pendapat Heriklitos yang menyatakan bahwa alam itu selalu bergerak. Menurutnya gerak alam yang terlihat itu semu, sebab sejatinya alam itu diam - tidak bergerak karena alam itu satu, yaitu ada dan yang ada itu satu. Akibat dari pandangan ini kemudian muncullah panteisme dalam memandang realitas.
Para filsuf alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berkembang, sehingga kajian tentang alam tidak lagi menjadi focus utama dan mulai bergeser pada penyelidikan tentang manusia. Era filsuf alam pun berakhir digantikan masa transisi yang ditandai dengan lahirnya kaum “Sofis”. Kaum Sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Ini merupakan cikal bakal humanisme. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM) yang menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subyektif dan relatif. Konsekuensinya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika pun tidak dianggap mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh lain dari kaum sofis yang lebih ekstrim dibanding Protagoras adalah Gorgias (483-375). Menurutnya, realitas itu sebenarnya tidak ada. Pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila sesuatu itu ada, ia tidak akan dapat diketahui. Ini dikarenakan penginderaan itu sumber ilusi yang tidak dapat dipercaya. Pun akal tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta, karena akal kita telah diperdaya dilemma subyektifitas. Kalaupun relaitas itu dapat kita ketahui, ia tidak dapat diberitahukan kepada orang lain. Sikap skeptic Gorgias ini dianggap oleh sebagian filsuf sebagai pandangan nihilisme, bahwa kebenaran itu tidak ada.
Namun relativisme kaum sofis ini ditentang oleh Socrates dan pengikutnya, seperti Plato dan Aristoteles. Menurut para filsuf ini, ada kebenaran obyektif yang bergantung pada manusia. Socrates mencoba membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan metode dialognya. Metode ini bersifat praktis dan dilakukan melalui percakapan-percakapan yang berperan penting dalam menggali kebenaran yang obyektif. Dari sinilah kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi Socrates, pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Plato (429-347 SM) yang merupakan murid Socrates mencoba memadukan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Plato mengungkapkan bahwa esensi itu mempunyai realitas dan realitasnya ada dalam idea. Kebenaran umum itu ada dan tidak dibuat-buat, bahkan sudah ada di alam idea. Kebenaran umum ini merupakan rujukan bagi alam empiris. Plato berhasil mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides. Untuk mendamaikan kedua pandangan itu, Plato mengungkapkan bahwa pandangan Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja, sedangkan pandangan Parmenides juga benar, namun hanya berlaku untuk idea-idea yang bersifat abadi dan idea inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322). Murid Plato ini berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Logika Aristoteles ini disebut juga sebagai logika deduktif, yang mengukur valid tidaknya suatu pemikiran.
Aristoteleslah yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Teoritis mencakup logika, metafisika dan fisika, sedangkan yang praktis mencakup etika, ekonomi dan politik. Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman juga bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap sebagai bapak ilmu karena ia dianggap mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
Filsafat Yunani boleh dikatakan berakhir setelah era Aristoteles. Namun demikian sifat rasional yang menjadi cirinya masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya sampai sebelum filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad pertengahan.

Sriyanta
NIM : 13709251034
Mahasiswa PPs UNY Pendidikan Matematika Kelas B


Sumber Tulisan :
Rekaman perkuliahan Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers
Russel, Bertrand. 2005. Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (terjemahan). Yogkarta : Pustaka Pelajar.