Berusahalah sebaik-baiknya
seolah-olah keberhasilan melulu tergantung kerja kerasmu. Setelahnya serahkan semuanya kepada Tuhan dan
biarkan Ia sendiri mengerjakan yang terbaik bagimu.
Acapkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada cobaan atau
persoalan yang menuntut kita untuk menyikapinya dengan sebaik-baiknya. Kadang
kala persoalan itu dapat kita selesaikan dengan baik, namun tak jarang
persoalan itu menelikung dan membelenggu kita, membuat kita seolah tidak
berdaya. Dalam situasi demikianlah terminologi pasrah sering muncul. Apakah itu
sesungguhnya pasrah? Apakah pasrah berarti menyerah, putus asa – berhenti
berjuang? Bagaimanakah bersikap pasrah yang sesungguhnya?
Prof. Dr.
Marsigit, M.A mengajak kita memahami pasrah dari dimensi spiritual, yakni
dengan mengatur keseimbangan antara pasrah dan ikhtiar. Pasrah dalam kaca mata
fatalisme adalah pasrah dalam arti patah semangat – putus asa. Tentu bukan
pasrah yang demikian yang kita maksudkan. Pasrah yang demikian tidak
menyiratkan adanya harapan. Padahal mestinya dalam sikap kepasrahan kita masih
menaruh harapan akan kehidupan yang lebih baik. Pasrah yang menyiratkan harapan
di dalamnya hanya mungkin jika ada ikhtiar, yaitu usaha semaksimal mungkin dan
setelah berbagai upaya itu dilakukan baru berpasrah – berserah diri pada
penyelenggaraan Yang Ilahi.
Berikhtiar semaksimal mungkin tapi dalam
keadaan pasrah, demikian diungkapkan Prof Dr. Marsigit M.A. Hal ini menyiratkan
bahwa pasrah itu tidak pasif tapi pasrah itu aktif. Pasrah itu bukan tidak
berusaha. Pasrah yang sesungguhnya adalah berikhtiar dengan segenap jiwa raga. Perubahan
ke arah yang lebih baik, demi kehidupan yang lebih baik, tak akan pernah
terjadi tanpa ikhtiar. Ikhtiar selalu berkait dengan hal yang belum terjadi dan
agar hal yang akan terjadi baik adanya maka kita bisa mengusahakannya dengan
berikhtiar semaksimal mungkin. Dalam konteks ini, maka takdir dipahami hanya
sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan dalam hal ini tentu saja takdir tidak
bisa diubah. Sebab siapakah yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi? Oleh
karena itu kehidupan kita sesungguhnya tidak ditentukan oleh takdir, tapi
ditentukan oleh seberapa besar ikhtiar yang sudah kita lakukan untuk kehidupan
yang lebih baik di masa mendatang.
Pun ada dimensi spiritual dalam sikap
pasrah. Tidak melulu mengandalkan kekuatan diri sendiri, namun juga melibatkan
campur tangan Tuhan. Pasrah pada dasarnya juga penyerahan diri total pada
penyelenggaraan Ilahi. “Bukan kehendakku, tapi kehendakMulah yang terjadi.” Bahwa
benar kita berusaha semaksimal mungkin seolah-olah keberhasilan hanya melulu
ditentukan oleh kerja keras kita sendiri. Tapi setelah itu, kita menyerahkan
dan membiarkan Tuhan sendiri yang berkarya dan menyempurnakan seturut
kehendakNya. Inilah sikap pasrah yang sesungguhnya.
Sikap pasrah
yang demikian juga mencerminkan pengakuan bahwa kita sebagai manusia tidaklah
sempurna. Kita membutuhkan uluran tangan dan belas kasih Tuhan dalam kehidupan
kita. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A. Pasrah adalah jika setiap saat
dikarenakan ketidaksempurnaan manusia itulah sehingga kita bisa menyadari siapa diri manusia itu.
Dari sini tampak bahwa dalam pasrah ada ruang kesadaran diri yang dibangun oleh
manusia, mengakui dibalik berbagai kemampuan dan kelebihan, manusia juga
memiliki kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan.
Dan
sesungguhnya kehidupan mempunyai arti justru karena manusia memiliki banyak
keterbatasan. Justru karena manusia tidak sempurna itulah yang membuat
kehidupan semakin bermakna. Bayangkan jika manusia itu sempurna. Ketika manusia
sempurna maka ia akan mengetahui tentang semua hal. Jika demikian maka bukankah
tidak ada lagi ilmu pengetahuan? Jika manusia sempurna, maka aku bisa menjadi
Anda dan Anda bisa menjadi saya. Demikianlah jika manusia sempurna tidak akan ada
kehidupan di dunia ini. Ketidaksempurnaan manusia itulah yang membuat kehidupan
menjadi berarti. Oleh karenanya, kita perlu bersyukur atas ketidaksempurnaan
kita.
Rasa syukur
adalah bentuk rasa terima kasih kepada penyelenggara kehidupan. Dan hanya
orang-orang yang berhati ikhlaslah yang sesungguhnya mampu bersyukur. Ikhlas adalah
kerelaan hati kita terhadap apapun hasil yang nanti Tuhan berikan kepada kita,
berdasarkan usaha-usaha yang telah kita lakukan. Termasuk di dalamnya, ikhlas apabila
apa yang kita inginkan tidak tercapai seperti yang kita harapkan. Dalam situasi
inipun kita mesti bersyukur, sembari tetap memiliki pengharapan bahwa Tuhan
memiliki rencana yang lebih indah untuk diri kita. Oleh karenanya, setiap
saat kita perlu bersyukur.
Keterbatasan
dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia membuat kita melakukan banyak sekali
kesalahan dan menyebabkan kita jatuh dalam kubangan dosa. Oleh karenanya, kita
perlu memohon ampun atas keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita. Acapkali kita
mengabaikan hal-hal yang kita anggap tidak cukup penting bagi kita dan melulu
berfokus pada sesuatu yang kita anggap penting saja. Kita tidak mampu melihat
semua hal secara utuh. Kerapkali kita melakukan reduksi-reduksi - memilih dan
mengeliminasi – sehingga seringkali kita berlaku tidak adil baik kepada diri
sendiri, orang lain dan juga benda-benda dan makluk-makluk lain. Oleh karena
itu, sudah semestinyalah kita setiap saat meminta maaf dan mohon pengampunan
atas kesalahan, kekhilafan dan dosa-dosa kita.
Kiranya
sikap pasrah – berserah diri, rasa syukur, ikhlas dan kesediaan diri untuk
mohon ampun akan menjadikan kita semakin manusiawi. Menjadikan kehidupan kita
semakin bermakna bagi diri kita dan sesame. Dan yang pasti kita akan bisa
menjalani hidup ini dengan bahagia. Sebab adakah orang yang lebih bahagia lebih
dari orang-orang yang mampu pasrah, iklas, bersyukur dan mohon ampun?@
Sriyanta, H.J.
Mahasiswa PPs UNY
Pendidikan Matematika kelas B
NIM 13709251034