Mencintai
kebenaran merupakan awal proses manusia menggunakan daya pikirnya, sehingga
mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Orang Yunani pada awalnya sangat percaya pada
dongeng dan takhyul, namun lama kelamaan, terutama setelah mampu membedakan
yang riil dan yang ilusi, mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan mitologi
dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Pada titik inilah, periode filsafat
Yunani sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada periode ini
terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris.
Perubahan
ini tampaknya sederhana, tapi memiliki implikasi yang luar biasa. Manusia
menjadi lebih proaktif dan kreatif dalam menghadapi fenomena alam,
menjadikannya obyek penelitian dan pengkajian. Menggugah rasa keingintahuan
yang semakin mendalam tentang alam, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan,
seperti dari manakah asal usul alam ini? Bagaimana terjadinya? Pertanyaan
seperti inilah yang selalu diajukan oleh para filsuf Yunani, sehingga mereka
disebut filsuf alam, sebab perhatiannya yang begitu besar terhadap alam.
Filsuf
alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM).
Ia digelari Bapak Filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat dan
mempertanyakan. “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” merupakan
pertanyaan yang sangat mendasar, terlepas apapun jawabannya. Dan yang lebih penting,
pertanyaan tersebut dijawabnya dengan pendekatan rasional bukan dengan
pendekatan mitos. Menurut Thales asal alam adalah air, karena air merupakan
unsur penting bagi setiap makhluk hidup. Air dapat berubah menjadi benda gas
(uap), air dapat berubah menjadi benda padat (es) dan bumi ini berada di atas
air.
Filsuf
alam selanjutnya adalah Anaximander (610-540 SM) yang mengatakan bahwa segala
hal berasal dari substansi asalai, namun substansi itu bukanlah air seperti
diyakini Thales, atau substansi manapun yang kita ketahui. Substansi itu tidak
terbatas, abadi dan tak mengenal usia, dan “ia melingkupi seluruh dunia-dunia”
– sebab Anaximander menganggap bahwa dunia kita ini hanyalah salah satu dari
banyak dunia. Substansi asali itu diubah menjadi pelbagai substansi yang kita
kenal, dan substansi-substansi itu saling ditransformasikan menjadi substansi
yang satu atau yang lain. Anaximander memiliki keingintahuan ilmiah yang besar.
Konon ia adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk
seperti silinder. Anaximander dikenal orisinal, berwatak ilmiah dan
rasionalistik.
Tokoh
lain adalah Anaximenes yang muncul setelah Anaximander dan sudah dewasa sebelum
tahun 494 SM. Menurutnya substansi yang paling dasar adalah udara. Jiwa adalah
udara. Api adalah udara yang encer, jika dipadatkan pertama-tama udara akan
menjadi air, dan jika dipadatkan lagi menjadi tanah, dan akhirnya menjadi batu.
Anaximenes berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar.
Ketiga
tokoh di atas, yaitu Thales, Anaximander, dan Anaximenes sering dikenal sebagai
tritunggal Milesian. Mazhab Milesian penting bukan karena apa yang dicapainya,
namun karena apa yang diupayakannya. Kemunculannya didorong oleh kontak anata
pemikiran Yunani dengan Babilonia dan Mesir. Mengingat Miletus adalah kota
niaga, tempat bertemunya orang dari berbagai penjuru. Miletus merupakan kota
niaga yang makmur, dimana prasangka dan takhayul primitive diperlunak karena
pergaulannya dengan berbagai bangsa. Pemikiran spekulatif Thales, Anaximander,
dan Anaximenes bisa dianggap sebagai hipotesis-hipotesis ilmiah, dan hamper tak
pernah mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan hasrat-hasrat antropomorfis dan
ide-ide moral. Persoalan-persoalan yang mereka kemukakan adalah persoalan yang
berharga, dan semangat mereka bisa memacu penyelidikan selanjutnya.
Pythagoras
(580-500 SM) merupakan seorang tokoh terpenting yang pernah hidup, baik ketika
ia bijak maupun tak bijak, demikian Bertrand Russel mengungkapkan. Matematika dalam
pengertian sebagai argumen deduktif demonstratif bermula dari dia dan oleh
dialah matematika dikaitkan dengan suatu bentuk mistisisme yang ganjil.
Pengaruh matematika terhadap filsafat, yang sebagian adalah karena dia, sejak
saat itu menjadi cukup mendalam sekaligus kurang menguntungkan. Pythagoras
mengatakan bahwa segala sesuatu adalah bilangan-bilangan. Baginya tidak ada
satupun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur
dengan bilangan (kuantitas). Karena itu dia berpendapat bahwa bilangan adalah
unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Pythagoras menganggap
bilangan-bilangan sebagai bentuk-bentuk. Kita pun masih memakai istilah
bilangan bujur sangkar (bilangan berpangkat dua), bilangan kubus (bilangan
berpangkat tiga) yang tak lain adalah istilah-istilah dari Pythagoras. Penemuan
terpenting dari Pythagoras adalah proposisi tentang segitiga siku-siku, yakni
bahwa kuadrat sisi-sisinya yang membentuk sudut siku-siku sama dengan sama
dengan hasil kuadrat dari sisi yang lain, yakni sisi miringnya.
Berkait
dengan keberadaan alam semesta, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan
pertama muncul dari Heraklitos (540-480 SM) yang melihat alam semesta selalu
dalam keadaan berubah. Jika kita ingin memahami kehidupan kosmos, kita harus
menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Heraklitos menyimpulkan bahwa tidak ada
suatupun yang benar-benar ada, semuanya menjadi. Ungkapannya yang terkenal
dalam menggambarkan perubahan ini adalah panta
rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal
matap).
Berbeda
dengan Heraklitos, Parmenides (515-440 SM) memandang bahwa alam semesta itu
selalu dalam keadaan tetap, gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi.
Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan
tidak berubah. Parmenides menegaskan bahwa yang ada itu ada. Yang tidak ada
memang tidak ada, tidak bisa dipikirkan dan menjadi obyek pembicaraan. Yang ada
akan tetap ada dan tidak mungkin menjadi tidak ada. Demikian juga yang tidak
ada tidak mungkin berubah menjadi ada. Oleh karenanya, yang ada itu ada dan
itulah kebenaran.
Benar
tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Dengan kata lain, ukuran
kebenaran adalah akal manusia. Parmenides menentang pendapat Heriklitos yang
menyatakan bahwa alam itu selalu bergerak. Menurutnya gerak alam yang terlihat
itu semu, sebab sejatinya alam itu diam - tidak bergerak karena alam itu satu,
yaitu ada dan yang ada itu satu. Akibat dari pandangan ini kemudian muncullah panteisme dalam memandang realitas.
Para
filsuf alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas
pertanyaan-pertanyaan yang terus berkembang, sehingga kajian tentang alam tidak
lagi menjadi focus utama dan mulai bergeser pada penyelidikan tentang manusia.
Era filsuf alam pun berakhir digantikan masa transisi yang ditandai dengan
lahirnya kaum “Sofis”. Kaum Sofis ini memulai kajian tentang manusia dan
menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Ini merupakan cikal bakal
humanisme. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM) yang menyatakan bahwa
kebenaran itu bersifat subyektif dan relatif. Konsekuensinya, tidak akan ada
ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori
matematika pun tidak dianggap mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh
lain dari kaum sofis yang lebih ekstrim dibanding Protagoras adalah Gorgias
(483-375). Menurutnya, realitas itu sebenarnya tidak ada. Pemikiran lebih baik
tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila sesuatu itu ada, ia tidak akan
dapat diketahui. Ini dikarenakan penginderaan itu sumber ilusi yang tidak dapat
dipercaya. Pun akal tidak mampu meyakinkan kita tentang alam semesta, karena
akal kita telah diperdaya dilemma subyektifitas. Kalaupun relaitas itu dapat
kita ketahui, ia tidak dapat diberitahukan kepada orang lain. Sikap skeptic
Gorgias ini dianggap oleh sebagian filsuf sebagai pandangan nihilisme, bahwa
kebenaran itu tidak ada.
Namun
relativisme kaum sofis ini ditentang oleh Socrates dan pengikutnya, seperti
Plato dan Aristoteles. Menurut para filsuf ini, ada kebenaran obyektif yang
bergantung pada manusia. Socrates mencoba membuktikan adanya kebenaran obyektif
itu dengan metode dialognya. Metode ini bersifat praktis dan dilakukan melalui
percakapan-percakapan yang berperan penting dalam menggali kebenaran yang
obyektif. Dari sinilah kebenaran universal dapat ditemukan. Bagi Socrates,
pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri.
Plato
(429-347 SM) yang merupakan murid Socrates mencoba memadukan antara filsafat
alam dan filsafat tentang manusia. Plato mengungkapkan bahwa esensi itu
mempunyai realitas dan realitasnya ada dalam idea. Kebenaran umum itu ada dan
tidak dibuat-buat, bahkan sudah ada di alam idea. Kebenaran umum ini merupakan
rujukan bagi alam empiris. Plato berhasil mensintesakan antara pandangan
Heraklitos dan Parmenides. Untuk mendamaikan kedua pandangan itu, Plato
mengungkapkan bahwa pandangan Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam
empiris saja, sedangkan pandangan Parmenides juga benar, namun hanya berlaku
untuk idea-idea yang bersifat abadi dan idea inilah yang menjadi dasar bagi
pengenalan yang sejati.
Puncak
kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322). Murid Plato
ini berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang
dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika dan metafisika.
Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme.
Logika Aristoteles ini disebut juga sebagai logika deduktif, yang mengukur
valid tidaknya suatu pemikiran.
Aristoteleslah
yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Teoritis
mencakup logika, metafisika dan fisika, sedangkan yang praktis mencakup etika,
ekonomi dan politik. Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman juga bagi
klasifikasi ilmu di kemudian hari. Aristoteles dianggap sebagai bapak ilmu
karena ia dianggap mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara
sistematis.
Filsafat
Yunani boleh dikatakan berakhir setelah era Aristoteles. Namun demikian sifat
rasional yang menjadi cirinya masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya
sampai sebelum filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad
pertengahan.
Sriyanta
NIM : 13709251034
Mahasiswa PPs UNY Pendidikan Matematika Kelas B
Sumber Tulisan :
Rekaman perkuliahan
Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Bakhtiar, Amsal.
2012. Filsafat Ilmu. Jakarta :
Rajawali Pers
Russel, Bertrand. 2005. Sejarah
Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno
hingga sekarang (terjemahan). Yogkarta : Pustaka Pelajar.