Windy adalah salah satu siswa yang terkenal di kelas matematika selama duduk di bangku SMA. Di kelas sewaktu sekolah, memang ada beberapa siswa yang sangat terkenal dan dikenal oleh guru dan teman-temannya. Biasanya siswa tersebut pinter, jagoan di kelas atau sebaliknya- siswa yang ekstrem satunya, “ngga bisa apa-apa” atau “katrok” bangetlah pinjam istilahnya Tukul Arwana. Dan sayangnya, Windy masuk kategori yang ekstrem kedua, seringkali dianggap ‘nothing’ dalam pelajaran matematika. Setiap habis ulangan bisa dipastikan dia salah satu siswa yang harus mengikuti kelas remedial. Sehingga julukan “Mr. Remidi” melekat padanya.
Apakah Windy, diam dan menyerah begitu saja? Bagi kebanyakan siswa ketika dirinya dianggap “nothing” oleh kebanyakan teman dan gurunya dia biasanya akan menyerah, diam dan tidak melakukan apa-apa, cenderung memandang rendah dirinya sendiri, nggak percaya diri dan lebih percaya kalau dirinya memang nggak bisa apa-apa. Tapi hal itu ternyata tidak untuk Windy! Dia mengakui memang dirinya lemah dalam pelajaran matematika. Dia menyadari dia kurang dalam pelajaran ini. Tapi dia masih punya dua hal, pertama, keyakinan bahwa matematika bisa dipelajarinya, kedua dia memiliki ketekunan. Mungkin dua hal itu, yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang menyerah terhadap matematika. Dengan dua hal itu Windy bertahan untuk terus belajar matematika.
Windy yang SD dan SMPnya ditempuh di Papua dan ketika menginjak SMA melanjutkan studi di Yogyakarta itu, memang menyadari benar kemampuannya. Dia tidak malu mengakui bahwa dirinya butuh lebih banyak waktu untuk memahami suatu materi matematika dibanding teman-temannya yang lain. Mungkin sekali dijelaskan, teman-temannya sudah paham. Tapi windy butuh dua atau tiga kali penjelasan untuk materi yang sama. Untunglah, guru matematikanya seorang pastor yang memiliki kesabaran dua atau tiga kali lebih banyak daripada guru matematika biasa dan mau membuka kelas matrikulasi untuk siswa-siswa yang tertinggal dalam pelajaran matematika.
Untuk mengejar ketertinggalannya Windy selalu mengikuti kelas matrikulasi matematika yang diadakan sore hari di sekolahnya. Selain itu, dia juga menyediakan waktu khusus untuk belajar matematika sendiri, entah untuk mengulangi materi atau mengerjakan PR. Jadi bisa dipastikan, Windy adalah salah satu siswa di kelas dan mungkin di sekolahnya yang selalu mengerjakan PR matematika. Meski juga bisa dipastikan dari pekerjaan itu banyak yang salah juga. Tapi dari mengerjakan PR itu, dia sedikit-sedikit tahu kesalahan yang dibuatnya, bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuatnya tersebut dan memperbaiki kesalahan itu lewat mengerjakan ulang PR yang salah itu.
Windy memang “Mr Remidi”, setiap kali ulangan dia memang boleh dikata nilainya hampir selalu dibawah standar ketuntasan belajar. Tapi nilai hasil remidi yang diikutinya pasti selalu diatas tujuh puluh, tak jarang mendekati nilai sempurna. Dan jangan heran, meski jagoan “remidi”, Windy lulus SMA dari jurusan IPA. Kini ia sedang menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Teknik Informatika di salah satu PTS cukup terkenal di Yogyakarta. “Jangan pernah menyerah dengan matematika, meski sesulit apapun. Dia akan memberikan pada kita sesuatu yang memang pantas untuk diperjuangkan. Cara berpikir, bernalar yang benar, berpikir secara logis dan sistematis.” Ungkapnya penuh keyakinan. “Kamu boleh tidak percaya, tapi saya sudah membuktikannya!” Percaya deh…
09 November 2009
Berbagi Matematika
Pak Yanto, begitu dia sering disapa, mengakui suka dengan matematika sejak kecil. Dan jika ditanya “mengapa suka matematika?” hingga sekarang dia selalu mengatakan tidak tahu alasannya. “Suka saja!”, begitu ia selalu menjawab. Sewaktu SD matematika adalah pelajaran favoritnya. PR yang selalu dikerjakannya adalah PR matematika. Bahkan ketika tidak ada PR pun dia selalu memaksa ibunya untuk membuatkan soal PR matematika.
Namun, kesukaannya terhadap matematika sempat meredup ketika SMP. Nilai matematikanya tidak cukup memuaskan buat dirinya, meskipun jika dibanding teman-temannya yang lain sebenarnya lebih dari cukup. “Waktu di SMP, guru matematikanya tidak menyenangkan.” kilahnya. Namun demikian, dia tetap belajar matematika meski standar seperti teman-teman lainnya, tidak seperti waktu di SD dulu.
Sewaktu SMA minatnya pada matematika kembali tumbuh. Di sekolah dia dikenal sebagai jago matematika oleh teman-temannya. Setiap pagi, dia selalu menjadi orang yang paling ditunggu di kelasnya. Teman-temannya sudah banyak yang antri untuk melihat dan mencontoh PR atau tugas matematikanya. Kadang malah ada yang pagi-pagi sudah nyamperi kerumahnya. Resikonya, karena “digilir” banyak temannya, kertas pekerjaannya jadi lecek dan tak jarang sobek. Untuk itu kadang dia harus buat tugas yang dikumpul rangkap dua. Maka jangan heran, kalau dia sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika meski selama SMA itu tak satupun kejuaraan yang dimenanginya. Tapi itu tidak membuatnya surut menyukai matematika. Sebaliknya, hal itu membawanya pada kesadaran bahwa dia belajar matematika untuk tahu, mengerti dan paham tentang konsep matematika dan kalau bisa membagi apa yang diketahuinya itu pada teman-teman lain yang mau belajar matematika, bukan untuk menjadi juara lomba matematika, apalagi sekedar mendapatkan nilai matematika yang baik. Kesadaran baru itu semakin membawanya pada rasa suka yang lebih besar terhadap matematika.
Pada waktu SMA itulah, ia juga berinisiatif mengajari teman-temannya belajar matematika seminggu dua kali untuk persiapan ujian nasional di sekolahnya. Dan hasilnya, semua teman satu kelasnya lulus, meski dia sendiri hanya memperoleh nilai 6,25 untuk pelajaran matematika.
Kecintaannya terhadap matematika membuatnya memilih jurusan pendidikan matematika di salah satu PTS terkemuka di Yogyakarta, sebagai pintu masuknya menjadi guru untuk berbagi matematika dengan banyak orang. Kini ia pun menjadi guru matematika dan berbagi matematika dengan murid-muridnya.
Namun, kesukaannya terhadap matematika sempat meredup ketika SMP. Nilai matematikanya tidak cukup memuaskan buat dirinya, meskipun jika dibanding teman-temannya yang lain sebenarnya lebih dari cukup. “Waktu di SMP, guru matematikanya tidak menyenangkan.” kilahnya. Namun demikian, dia tetap belajar matematika meski standar seperti teman-teman lainnya, tidak seperti waktu di SD dulu.
Sewaktu SMA minatnya pada matematika kembali tumbuh. Di sekolah dia dikenal sebagai jago matematika oleh teman-temannya. Setiap pagi, dia selalu menjadi orang yang paling ditunggu di kelasnya. Teman-temannya sudah banyak yang antri untuk melihat dan mencontoh PR atau tugas matematikanya. Kadang malah ada yang pagi-pagi sudah nyamperi kerumahnya. Resikonya, karena “digilir” banyak temannya, kertas pekerjaannya jadi lecek dan tak jarang sobek. Untuk itu kadang dia harus buat tugas yang dikumpul rangkap dua. Maka jangan heran, kalau dia sering terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika meski selama SMA itu tak satupun kejuaraan yang dimenanginya. Tapi itu tidak membuatnya surut menyukai matematika. Sebaliknya, hal itu membawanya pada kesadaran bahwa dia belajar matematika untuk tahu, mengerti dan paham tentang konsep matematika dan kalau bisa membagi apa yang diketahuinya itu pada teman-teman lain yang mau belajar matematika, bukan untuk menjadi juara lomba matematika, apalagi sekedar mendapatkan nilai matematika yang baik. Kesadaran baru itu semakin membawanya pada rasa suka yang lebih besar terhadap matematika.
Pada waktu SMA itulah, ia juga berinisiatif mengajari teman-temannya belajar matematika seminggu dua kali untuk persiapan ujian nasional di sekolahnya. Dan hasilnya, semua teman satu kelasnya lulus, meski dia sendiri hanya memperoleh nilai 6,25 untuk pelajaran matematika.
Kecintaannya terhadap matematika membuatnya memilih jurusan pendidikan matematika di salah satu PTS terkemuka di Yogyakarta, sebagai pintu masuknya menjadi guru untuk berbagi matematika dengan banyak orang. Kini ia pun menjadi guru matematika dan berbagi matematika dengan murid-muridnya.
Langganan:
Postingan (Atom)