16 Oktober 2013

Mengejar Ikhtiar - Mendaraskan Syukur




Berusahalah sebaik-baiknya seolah-olah keberhasilan melulu tergantung kerja kerasmu.  Setelahnya serahkan semuanya kepada Tuhan dan biarkan Ia sendiri mengerjakan yang terbaik bagimu.



Acapkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada cobaan atau persoalan yang menuntut kita untuk menyikapinya dengan sebaik-baiknya. Kadang kala persoalan itu dapat kita selesaikan dengan baik, namun tak jarang persoalan itu menelikung dan membelenggu kita, membuat kita seolah tidak berdaya. Dalam situasi demikianlah terminologi pasrah sering muncul. Apakah itu sesungguhnya pasrah? Apakah pasrah berarti menyerah, putus asa – berhenti berjuang? Bagaimanakah bersikap pasrah yang sesungguhnya?
            Prof. Dr. Marsigit, M.A mengajak kita memahami pasrah dari dimensi spiritual, yakni dengan mengatur keseimbangan antara pasrah dan ikhtiar. Pasrah dalam kaca mata fatalisme adalah pasrah dalam arti patah semangat – putus asa. Tentu bukan pasrah yang demikian yang kita maksudkan. Pasrah yang demikian tidak menyiratkan adanya harapan. Padahal mestinya dalam sikap kepasrahan kita masih menaruh harapan akan kehidupan yang lebih baik. Pasrah yang menyiratkan harapan di dalamnya hanya mungkin jika ada ikhtiar, yaitu usaha semaksimal mungkin dan setelah berbagai upaya itu dilakukan baru berpasrah – berserah diri pada penyelenggaraan Yang Ilahi.
Berikhtiar semaksimal mungkin tapi dalam keadaan pasrah, demikian diungkapkan Prof Dr. Marsigit M.A. Hal ini menyiratkan bahwa pasrah itu tidak pasif tapi pasrah itu aktif. Pasrah itu bukan tidak berusaha. Pasrah yang sesungguhnya adalah berikhtiar dengan segenap jiwa raga. Perubahan ke arah yang lebih baik, demi kehidupan yang lebih baik, tak akan pernah terjadi tanpa ikhtiar. Ikhtiar selalu berkait dengan hal yang belum terjadi dan agar hal yang akan terjadi baik adanya maka kita bisa mengusahakannya dengan berikhtiar semaksimal mungkin. Dalam konteks ini, maka takdir dipahami hanya sebagai sesuatu yang sudah terjadi dan dalam hal ini tentu saja takdir tidak bisa diubah. Sebab siapakah yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi? Oleh karena itu kehidupan kita sesungguhnya tidak ditentukan oleh takdir, tapi ditentukan oleh seberapa besar ikhtiar yang sudah kita lakukan untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Pun ada dimensi spiritual dalam sikap pasrah. Tidak melulu mengandalkan kekuatan diri sendiri, namun juga melibatkan campur tangan Tuhan. Pasrah pada dasarnya juga penyerahan diri total pada penyelenggaraan Ilahi. “Bukan kehendakku, tapi kehendakMulah yang terjadi.” Bahwa benar kita berusaha semaksimal mungkin seolah-olah keberhasilan hanya melulu ditentukan oleh kerja keras kita sendiri. Tapi setelah itu, kita menyerahkan dan membiarkan Tuhan sendiri yang berkarya dan menyempurnakan seturut kehendakNya. Inilah sikap pasrah yang sesungguhnya.
            Sikap pasrah yang demikian juga mencerminkan pengakuan bahwa kita sebagai manusia tidaklah sempurna. Kita membutuhkan uluran tangan dan belas kasih Tuhan dalam kehidupan kita. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A. Pasrah adalah jika setiap saat dikarenakan ketidaksempurnaan manusia itulah sehingga  kita bisa menyadari siapa diri manusia itu. Dari sini tampak bahwa dalam pasrah ada ruang kesadaran diri yang dibangun oleh manusia, mengakui dibalik berbagai kemampuan dan kelebihan, manusia juga memiliki kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan.
            Dan sesungguhnya kehidupan mempunyai arti justru karena manusia memiliki banyak keterbatasan. Justru karena manusia tidak sempurna itulah yang membuat kehidupan semakin bermakna. Bayangkan jika manusia itu sempurna. Ketika manusia sempurna maka ia akan mengetahui tentang semua hal. Jika demikian maka bukankah tidak ada lagi ilmu pengetahuan? Jika manusia sempurna, maka aku bisa menjadi Anda dan Anda bisa menjadi saya. Demikianlah jika manusia sempurna tidak akan ada kehidupan di dunia ini. Ketidaksempurnaan manusia itulah yang membuat kehidupan menjadi berarti. Oleh karenanya, kita perlu bersyukur atas ketidaksempurnaan kita.
            Rasa syukur adalah bentuk rasa terima kasih kepada penyelenggara kehidupan. Dan hanya orang-orang yang berhati ikhlaslah yang sesungguhnya mampu bersyukur. Ikhlas adalah kerelaan hati kita terhadap apapun hasil yang nanti Tuhan berikan kepada kita, berdasarkan usaha-usaha yang telah kita lakukan. Termasuk di dalamnya, ikhlas apabila apa yang kita inginkan tidak tercapai seperti yang kita harapkan. Dalam situasi inipun kita mesti bersyukur, sembari tetap memiliki pengharapan bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih indah untuk diri kita. Oleh karenanya, setiap saat kita perlu bersyukur.
            Keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia membuat kita melakukan banyak sekali kesalahan dan menyebabkan kita jatuh dalam kubangan dosa. Oleh karenanya, kita perlu memohon ampun atas keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita. Acapkali kita mengabaikan hal-hal yang kita anggap tidak cukup penting bagi kita dan melulu berfokus pada sesuatu yang kita anggap penting saja. Kita tidak mampu melihat semua hal secara utuh. Kerapkali kita melakukan reduksi-reduksi - memilih dan mengeliminasi – sehingga seringkali kita berlaku tidak adil baik kepada diri sendiri, orang lain dan juga benda-benda dan makluk-makluk lain. Oleh karena itu, sudah semestinyalah kita setiap saat meminta maaf dan mohon pengampunan atas kesalahan, kekhilafan dan dosa-dosa kita.
            Kiranya sikap pasrah – berserah diri, rasa syukur, ikhlas dan kesediaan diri untuk mohon ampun akan menjadikan kita semakin manusiawi. Menjadikan kehidupan kita semakin bermakna bagi diri kita dan sesame. Dan yang pasti kita akan bisa menjalani hidup ini dengan bahagia. Sebab adakah orang yang lebih bahagia lebih dari orang-orang yang mampu pasrah, iklas, bersyukur dan mohon ampun?@


Sriyanta, H.J.
Mahasiswa PPs UNY
Pendidikan Matematika kelas B
NIM 13709251034